Syarat untuk mendapatkan KTP elektronik adalah jemaah Ahmadiyah diminta mengucapkan syahadat
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Sekitar 1.600 anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tinggal di Desa Manis Lor Kuningan, Jawa Barat mengeluhkan proses birokrasi penerbitan KTP Elektronik yang diskriminatif dan bertentangan dengan konsep penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten Kuningan.
Pasalnya, Pemerintah Daerah Ahmadiyah Manis Lor mewajibkan warga menandatangani surat pernyataan mengaku beragama Islam dan bermaterai dengan serius sebelum KTP Elektronik dapat diterbitkan.
Ditemui di kantor Ombudsman RI, perwakilan Jemaah Ahmadiyah Manis Lor mengadukan praktik maladministrasi tersebut ke Ombudsman. Mereka meminta Ombudsman memberikan surat rekomendasi mengenai masalah tersebut.
“Kami berharap Ombudsman dapat membantu memperlancar harapan dan keinginan kami untuk mendapatkan KTP Elektronik sesuai dengan ketentuan yang ada,” kata Pengawas JAI Irfan Maulana saat proses pertemuan.
Perwakilan JAI juga mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi karena KTP Elektroniknya tidak diterbitkan. Sebab, tanpa KTP elektronik, mereka tidak bisa mengakses fasilitas umum, kesulitan mengatur perkawinan, tidak bisa mengakses BPJS, fasilitas transportasi, atau mengakses fasilitas pendidikan yang memerlukan kepemilikan ICP.
Ahmad Sobirin, selaku asisten Ombudsman menjelaskan, laporan tersebut diterimanya sejak Desember tahun lalu dan sejak itu pihaknya telah berkoordinasi mengenai permasalahan ini dengan Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Dukcapil serta pemerintah daerah setempat, termasuk dengan Acep Purnama yang adalah Bupati Kuningan saat ini.
Pertemuan terakhir yang dilakukan 2 minggu lalu antara Ombudsman dan pemerintah daerah menghasilkan kesimpulan bahwa seluruh KTP Elektronik yang belum diterbitkan harus segera diterbitkan.
Namun sayangnya hasil pertemuan tersebut tidak terealisasi. Parahnya lagi, JAI mengaku dalam pertemuan dengan Dukcapil Kabupaten Kuningan, alih-alih mendapatkan KTP Elektronik, JAI malah disodori surat pernyataan yang mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat penerbitan KTP Elektronik.
Ahmad Sobirin menilai tindakan Dukcapil dan Pemkab merupakan tindakan yang bertentangan dengan praktik administrasi yang baik, serta bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menjamin hak warga negaranya.
Persyaratan tersebut tidak mempunyai dasar hukum dan tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hak warga negara mengenai administrasi kependudukan yang dijamin oleh konstitusi, kata Ahmad Sobirin.
Asisten Ombudsman juga menyayangkan alasan persyaratan yang diterapkan pemerintah Kabupaten Kuningan mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam, sehingga tidak bisa menerbitkan KTP Elektronik bagi jemaah Ahmadiyah yang kolom agamanya bertuliskan “Islam”. “.
Menurut dia, fatwa MUI tidak bisa dijadikan acuan dalam hal ini karena MUI bukanlah lembaga negara yang memiliki produk penasihat. Sedangkan penerbitan KTP Elektronik mutlak merupakan urusan administrasi negara. “Tidak bisa dijadikan dasar oleh pemerintah kabupaten. “Agama adalah urusan seseorang dengan Tuhan, bukan urusan pemerintah,” tambah Ahmad.
Alasan tekanan eksternal
Dalam sesi wawancara, Dessy (28), salah satu perwakilan jemaah Ahmadiyah Manis Lor mengungkapkan, pemberlakuan syarat menandatangani surat pernyataan tersebut karena Dukcapil mengaku mendapat tekanan dari ormas tertentu.
Meski demikian, Dessy sendiri mengatakan, selama beberapa tahun terakhir tidak pernah ada kejadian yang mengisyaratkan adanya ancaman datang dari ormas terhadap pemerintah.
Ia pun mengaku jemaah Ahmadiyah tidak mendapat perlakuan berbeda dibandingkan warga lain di sekitar Desa Manis Lor atau Kecamatan Jalaksana dan sekitarnya.
Sekretaris Jenderal Yayasan Satu Keadilan Syamsul Alam juga mengatakan, alasan tersebut juga disampaikan Bupati Kuningan Acep Purnama saat pertemuan antara Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri dengan Ombudsman RI mengenai dinamika sosial yang berdampak pada perekonomian. proses penerbitan KTP Elektronik bagi jemaah Ahmadiyah.
Namun, menurut Syamsul, desakan ormas tersebut tidak perlu menjadi kekhawatiran apalagi menjadi alasan untuk menerapkan persyaratan tersebut. “Sebenarnya alasannya harus diukur sampai sejauh mana penindasan ormas tertentu. Saya tidak melihat situasi apa pun (penekanan) terjadi. Jika ada ancaman, Neara akan tunduk pada ormas intoleran, kata Syamsul.
Jika menilik sejarah, jemaah Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat beberapa kali mendapat perlakuan diskriminatif, seperti tuntutan pelarangan kegiatan ibadah, penyegelan tempat ibadah, hingga tuntutan pembubaran ormas yang berafiliasi dengan agama tertentu. . . Bentrokan juga terjadi pada tahun 2010 antara jemaah Ahmadiyah dengan ormas tersebut.
Diskriminatif dan memaksa
Perwakilan Jemaat Ahmadiyah Manis Lor menilai penerapan persyaratan tersebut penuh unsur diskriminasi dan pemaksaan. Pasalnya, syarat tersebut hanya berlaku di Kuningan dan khusus jemaah Ahmadiyah.
Seluruh Jemaat Ahmadiyah Manis Lor belum menandatangani surat pernyataan yang disampaikan Dukcapil dan tegas menolak penerapan persyaratan tersebut.
Syamsul Alam menilai kebijakan yang dilakukan Dukcapil merupakan tindakan pidana karena mengandung unsur paksaan. Apalagi, tidak pantas jika lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melayani setiap warga negara tanpa pandang bulu menerapkan kebijakan diskriminatif tersebut.
“Bisa dianggap tindak pidana, itu tindak pidana pemaksaan. “Jangan ada keributan lagi, terutama yang berkaitan dengan keyakinan, keyakinan, dan ibadah sebagaimana diatur dalam konstitusi,” kata Syamsul.
Implementasi persyaratan tersebut berujung pada pertemuan lanjutan yang diprakarsai oleh JAI dan Yayasan Satu Keadilan dengan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri pada Senin, 24 Juli 2017.
JAI memberikan solusi dan juga meminta Dirjen Dukcapil untuk menerbitkan 1600 ICP Elektronik untuk jemaah Ahmadiyah Manis Lor melalui Dukcapil wilayah Jakarta, sebagai alternatif penerbitan dari wilayah Kuningan yang tidak mungkin dilakukan. —Rappler.com