• November 22, 2024

Tahun Monyet Api membawa berkah bagi para perajin lampion Malang

Ribuan lampion buatan Malang dipesan pembeli dari luar negeri

MALANG, Indonesia – Tahun Baru Imlek membawa berkah bagi industri rumah tangga di Malang. Pengrajin lampion rumahan mengalami peningkatan pesanan menjelang Tahun Baru Imlek pada bulan Februari ini.

Pesanan yang masuk bahkan tidak sepadan dengan kemampuan produksi pekerja yang ada. Agar tidak mengecewakan konsumen dengan kualitas produk yang buruk, para perajin lampion pun menularkan ilmunya kepada pekerja baru yang membuat lampion.

Ahmad, pemilik Lampion Cempaka Kota Malang, mengaku kebanjiran pesanan sejak November 2015. Sejak itu, pesanan tak henti-hentinya mengalir hingga hari-hari terakhir menjelang Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 8 Februari 2016.

Jika dihitung, produksi Lampion Cempaka sejak November hingga saat ini mencapai 20 ribu lampion. Rata-rata, mereka harus membuat sedikitnya 6.000 lampion setiap bulannya. Jumlah ini meningkat pesat dibandingkan produksi pada bulan-bulan lainnya yang rata-rata menghasilkan 2.000 lampion dalam satu bulan.

“Kami memiliki 6 pelanggan tetap. Selalu ada ribuan pesanan sebelum Tahun Baru Imlek. Lainnya adalah pelanggan baru yang datang on line,” kata Ahmad kepada Rappler, Senin, 1 Februari.

Lampion dengan rangka rotan dan bahan kain khusus berdiameter 30 cm merupakan model yang paling banyak diminati. Warnanya merah, kuning dan hijau, atau sesuai pesanan.

Harganya bervariasi antara Rp 25 ribu untuk lampion diameter terkecil 25 cm, hingga Rp 5 juta per satu. Lampion seharga 5 juta dipesan pembeli dari Jakarta berbentuk monyet dengan tinggi 1 meter.

Selain Jakarta, permintaan lampion juga datang dari Pulau Sumatera, Kalimantan, dan sejumlah daerah di Sulawesi. Permintaan dari luar negeri pun terus berdatangan secara rutin, salah satunya dari Italia.

Tahun ini merupakan tahun ketiga Cempaka melayani permintaan pembeli dari Negeri Pizza. Menurutnya, berbisnis dengan pembeli asing memang menguntungkan dari segi harga. Karena mereka ingin membeli lampion buatan tangan yang mahal.

Namun ada juga perjanjian yang jelas dan mengikat yang harus ditandatangani dan dipatuhi Cempaka saat pesanan diterima. Pelanggaran terhadap perjanjian akan berakibat fatal berupa denda puluhan juta rupiah.

“Mereka menyertakan hak cipta atas desain lampion yang mereka pesan. Harganya juga berbeda karena dibuat khusus. Ada teman saya di Bali yang melanggar perjanjian dan kemudian harus membayar denda sekitar Rp 20 juta. “Kesalahannya adalah dia membuat dan menjual lampion serupa yang dipesan ke pihak lain,” kata pria yang mulai menjalankan lampionnya sendiri pada tahun 2006.

Cempaka membuat sekitar 2.500 lampion untuk pelanggan asal Italia.

Selain Cempaka, ada sekitar tiga toko Lampion lainnya di Jalan Juanda Kota Malang yang mulai diproduksi pada awal tahun 2000.

tikus tikus toko di gang berjuluk Kampung Lentera itu, juga mendapat peningkatan pesanan saat Imlek.

Ahmad mengaku kesulitan meminta bantuan toko orang lain di sekitarnya ketika banjir memesan. Ia bersama saudaranya mulai berbagi ilmu dengan masyarakat di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang agar produksi lampion dapat memenuhi permintaan.

Masyarakat Tumpang yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pedagang mempunyai banyak waktu luang untuk membuat lampion.

“Ngomong-ngomong, rumah adikku di Tumpang. Jadi kami mempelajari sebuah desa di sana. Kemarin ada permintaan 600 lampion dan dikerjakan di Tumpang. “Hasil lampionnya juga bagus,” ujarnya.

Sementara itu, seluruh pesanan Tahun Baru Imlek ditangani oleh sembilan pekerja yang dibayar berdasarkan upah per satuan. Meski tidak seberapa, Ahmad menyebut upah borongan di tempatnya jauh lebih baik dibandingkan upah yang diberikan kepada pengrajin di tempat lain di luar Malang.

“Banyak dari mereka yang sempat bekerja di Bali. Namun upah di sana lebih rendah, sehingga mereka memilih pekerjaan musiman di sini. “Saat Imlek, mereka bekerja rutin selama tiga bulan terakhir,” ujarnya.

Dengan 9 orang pekerja, Ahmad mampu menyelesaikan setidaknya 100 lampion setiap harinya.

Kampung lampion sendiri terbentuk dari kepiawaian warga sekitar dalam membuat lampion. Sebagian besar keterampilan ini diperoleh saat bekerja di Bali pada tahun 1990an. Lambatnya pesanan pasca bom Bali membuat banyak bengkel lampion di Bali tutup dan terpaksa kembali ke kampung halaman.

“Kami mencoba membuatnya di sini, awalnya hanya orang Malang yang membeli candi tersebut. Tapi kemudian banyak pelanggan di Bali juga berbelanja di sini,” kata Prasetyawan, pekerja toko Juanda Lampion. —Rappler.com

BACA JUGA:

Sidney hari ini