Tantangan mendekatkan feminisme kepada kaum milenial
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Menjelaskan konsep feminisme bukanlah hal yang mudah, terutama bagi remaja putri. Berikut tiga tantangan untuk mendekatkan feminisme kepada generasi milenial
JAKARTA, Indonesia – Sebagai generasi milenial, banyak hal baru yang mulai memasuki kehidupan kita, termasuk isu kesetaraan gender dan feminisme. Masalah ini banyak dibahas dan diperdebatkan oleh para relawan feminis.
Setiap sesuatu yang ada tentu mempunyai pola tersendiri dalam sosial masyarakat. Jika berbicara mengenai feminisme, masih banyak ketidaktahuan di lingkungan sekitar mengenai hal tersebut. Ujung-ujungnya malah menimbulkan prasangka buruk dan paham salah.
Minimnya pengetahuan tentang feminisme pada masyarakat Indonesia akhirnya menjadi tantangan tersendiri bagi kaum milenial. Mereka yang akan terus memperjuangkan feminisme hendaknya mencoba menjelaskan nilai-nilai feminisme kepada mereka yang belum sadar akan feminisme. Itu bukanlah hal yang mudah.
Maulidia Raviola, dari Organisasi Pemuda Pamflet, menyampaikan tiga tantangan untuk mendekatkan feminisme kepada generasi milenial. Hal itu ia sampaikan pada Feminist Fest 2017 yang digelar Sabtu, 26 Agustus, di SMA 1 PSKD, Senen, Jakarta Pusat.
Berikut tantangannya:
Ubah stigma tentang feminisme
Ada banyak stigma atau atribut negatif terhadap relawan feminis. Sebagian besar stigma yang ada pada orang-orang feminis berarti mereka mudah tersinggung dan marah. Selain itu, ada juga yang menganggap feminis berarti anti nikah dan terlalu menjunjung tinggi gendernya.
Faktanya, semua ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan feminisme. Ada banyak feminis yang juga menikah dengan laki-laki. Banyak juga feminis yang berbicara dengan nada lembut dan rendah. Itu semua masalah pilihan dan kepribadian individu.
Sayangnya stigma seperti ini masih melekat di masyarakat. Generasi milenial yang baru belajar tentang feminisme takut akan percaya terlebih dahulu pada stigma yang ada. Pada akhirnya, perlu adanya penjelasan tentang feminis dan berbicara dengan para feminis untuk menghilangkan sifat-sifat negatif tersebut.
Tidak monolitik
Banyak masyarakat umum yang menganggap feminisme itu monolitik. Hanya mempunyai satu aliran, satu tujuan, satu keinginan dan satu lainnya. Faktanya, ini tidak benar.
Ada beberapa aliran dalam feminisme. Setiap sekte mempunyai tujuan, keinginan dan pemahaman feminisme yang berbeda-beda. Seperti Feminisme Liberal yang berarti perempuan memiliki kebebasan individu sepenuhnya. Tipe ini juga mengatakan bahwa setiap manusia adalah sama, baik perempuan maupun laki-laki. Oleh karena itu, wanita bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan pria.
Ada juga Feminisme Marxis. Aliran semacam ini menginginkan penghapusan kelas-kelas berbasis gender di masyarakat. Tipe ini juga mengibaratkan laki-laki dengan kaum borjuis (kelas menengah atas), sedangkan perempuan adalah kaum proletariat (kelas terbawah) yang tertindas.
Hal seperti ini sangat perlu dikaji lebih lanjut oleh masyarakat dalam pendidikan feminis. Namun di Indonesia sendiri sulit mendapatkan pendidikan seperti itu. Untuk itu, banyak organisasi atau lembaga yang memberikan pendidikan feminis kepada generasi milenial dengan berbagai cara. Mulai dari media sosial hingga mengarahkan ke lokasi mereka yang ingin belajar.
Bagian dari politik gaya hidup
Menjadikan feminisme sebagai sesuatu yang masuk dalam kehidupan sehari-hari memang sulit. Apalagi budaya patriarki masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal seperti ini juga menjadi ketakutan bagi kaum milenial yang ingin mendalami dunia feminisme.
Generasi milenial mungkin berpikir bahwa menjadi feminis adalah cara untuk menantang budaya di masyarakat. Padahal, menjadi seorang feminis tidak lain adalah mengekspresikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Namun, pandangan-pandangan buruk yang ditujukan kepada kaum feminis membuat kaum milenial patut dipertanyakan. Hingga pada akhirnya mereka tidak mau menjadi feminis.
Memang benar, banyak orang perlu mulai menjadikan feminisme sebagai gaya hidup politik. Seperti bersikap kritis terhadap permasalahan yang dihadapi perempuan. Mulai dari gaji hingga pelecehan yang sering terjadi. Mereka yang baru memulai juga pasti membutuhkan dukungan. Meski dukungan terhadap feminisme terlihat banyak di kota-kota besar, sayangnya hal tersebut tidak serta merta terjadi di wilayah kecil. —Rappler.com