
Temui Merri Utami, terpidana mati yang menjadi korban penipuan sindikat narkoba
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Pemerintah Indonesia menyiapkan 14 terpidana mati untuk eksekusi tahap III yang akan berlangsung pekan ini. Nama Merri Utami alias MU diyakini masuk dalam daftar tersebut.
Saat ini ibu dua anak itu sudah ditempatkan di ruang isolasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sejak Minggu 24 Juli. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan baru-baru ini mengunjungi dan berbicara dengan Merri dan 4 perempuan terpidana mati lainnya.
“Kami menemukan fakta bahwa ada lapisan kerentanan dalam penderitaan perempuan-perempuan ini,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dalam konferensi pers di kantornya, Selasa, 26 Juli.
Ia menemukan bahwa sebagian besar perempuan yang dijatuhi hukuman mati memiliki latar belakang yang sama: pekerja migran dan miskin secara finansial.
Korban kekerasan dalam rumah tangga
Nasib serupa menimpa Merri yang menjadi buruh migran di Taiwan sejak tahun 1990-an. Kepada Komisioner Komnas Perempuan, Merri mengaku awalnya dipaksa oleh suaminya.
Setelah 2 tahun berlalu, Merri mengetahui bahwa suaminya tidak menggunakan uang yang dikirimnya dari sana dengan baik. Saat Merri bekerja keras, suaminya berjudi dan membeli alkohol – bahkan berselingkuh dengan wanita lain.
Setiap pulang ke Indonesia, Merri kerap mendapat perlakuan kasar. Pada usia 25 tahun, ia memutuskan untuk bercerai tetapi terus bekerja di Taiwan untuk menghidupi kedua anaknya.
Pada tahun 2001, ia bertemu Jerry – pria yang kemudian memasukkannya ke dalam sindikat narkoba – saat mengurus dokumen kerja di Sarinah, Jakarta.
Jerry mengaku sebagai warga negara Kanada dan mempunyai usaha dagang di Indonesia, kata Yuniyanti.
Dari pertemuan tersebut, keduanya menjalin hubungan romantis selama tiga bulan. Menurut pengakuan Merri, Jerry merupakan sosok yang ramah dan romantis. Akhirnya pada 16 Oktober 2001, mereka sepakat untuk melakukan perjalanan ke Nepal.
Keanehan pun terjadi ketika Merri yang berjanji akan menemui Jerry di Thailand dalam transit, malah tertinggal dalam penerbangannya. Akhirnya mereka bertemu di Nepal dan pergi berlibur selama 3 hari.
Jerry akhirnya pamit ke Jakarta pada 20 Oktober 2001 dengan dalih mengurus urusan. Dia meminta Merri untuk tinggal di Nepal karena dia punya sesuatu untuk diberikan padanya.
“Itu tas tangan karena menurutnya tas Merri jelek,” kata Adriana Venny, Komisioner Advokasi Internasional Komnas Perempuan. Barang tersebut baru diserahkan seminggu kemudian oleh dua orang teman Jerry, Muhammad dan Badru.
Merri bertanya kenapa tasnya berat. Keduanya mengklaim tas tersebut terbuat dari kulit asli yang berkualitas baik dan kuat. Belakangan diketahui ada 1,1 kilogram heroin yang dimasukkan ke dalamnya.
Kemudian pada tanggal 31 Oktober 2001, Merri kembali ke Indonesia melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selama penerbangan, dia membawa tas tangan yang dia temukan ke dalam kabin bersamanya.
Dia sudah meninggalkan bandara dan hendak naik taksi, ketika dia teringat bahwa kopernya telah tertinggal. Merri senang sekali karena Jerry bilang kalau kembali ke Jakarta ingin menikah, kata Venny.
Merri kembali ke bandara untuk mengambil tasnya dari bagian tersebut Hilang dan ditemukan. Namun saat hendak berangkat, petugas memintanya untuk memindai tas tangannya dengan mesin rontgen.
Merasa tidak menyembunyikan sesuatu yang terlarang, Merri menyerahkan tasnya. Di sinilah keberadaan heroin terungkap. Karena panik, dia segera menghubungi Jerry dan teman-temannya. Namun, hasilnya nihil.
Kekerasan selama interogasi
Merri dibawa polisi bandara (Polsek Cengkareng) untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di sana ia mendapat penyiksaan berupa pemukulan berulang kali. Jadi dia akan mengakui kalau dialah pemilik heroin tersebut, kata Venny.
Karena diam, ia dibawa ke tempat lain, yakni hotel, dimana beberapa interogator menyentuh tubuhnya bahkan mencoba memperkosanya. Tak berhenti sampai disitu, ia akhirnya digelandang ke Reserse Narkoba Polri yang tak henti-hentinya melakukan penyiksaan.
“Dia mengaku berpuasa agar tidak disiksa, namun tetap dipukuli,” kata Venny. Kondisi itu pula yang membuatnya menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa memahami detail dokumen tersebut.
Akibat penyiksaan tersebut, Merri mengalami gangguan penglihatan, dimana sering muncul kilatan warna putih yang mengaburkan penglihatannya.
Pengadilan yang tidak adil
Pada sidang pertama di Pengadilan Negeri Tangerang, Merri hanya didampingi jaksa penuntut umum yang menurut Komnas Perempuan kurang antusias membela diri. Hakim pun cenderung membungkam pembelaan Merri.
Dua fakta yang lebih meresahkan adalah pandangan hakim yang tidak yakin dirinya menjadi korban penipuan. Alasannya, semua kurir narkoba selalu menggunakan alasan yang sama, kata Deputi Komisioner Hukum dan Kebijakan Sri Nurherwati.
Selain itu, ternyata Merri Utami bukanlah nama sebenarnya, melainkan alias yang digunakan agen perjalanan untuk menyetrika dokumen Merri untuk bekerja di luar negeri.
Menurut hakim, alasan dia mengganti namanya karena ingin menjadi kurir di Nepal. Padahal tidak,” lanjut Nur.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Merri divonis hukuman mati pada tingkat pertama. Berbagai upaya baik melalui banding maupun kasasi selalu ditolak. Permohonan peninjauan kembali (PC) pun ditolak.
“Sudah keluar sejak Agustus 2015, namun baru diberikan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Maret 2016,” kata Nur.
Saat ini Merri dan pengacaranya sedang menunggu pengampunan presiden.
Menunggu untuk mati
Merri sudah mendekam di penjara selama hampir 15 tahun. Berdasarkan wawancara Komnas Perempuan dengan petugas Lapas, beliau sangat aktif dalam kegiatan pembinaan.
“Dia rajin menanam tanaman organik, juga membuat lagu rohani dan kerajinan tangan,” kata Yuniyanti. Merri juga kerap memberikan semangat kepada sesama narapidana, khususnya terpidana penjara seumur hidup dan sesama terpidana mati.
Saat itu dia dikucilkan oleh keluarganya. Saat putrinya menikah, mantan suami Merri mengatakan bahwa “ibunya sudah meninggal”. Tidak ada keluarga lain yang mencoba berkunjung.
Satu-satunya yang masih peduli adalah sang putri yang sering berkunjung. Merri mengatakan putrinya percaya dia tidak bersalah dan itu sudah cukup baginya, kata Yuniyanti.
Perspektif lain melihat pada korban
Azriana, Ketua Komnas Perempuan, berharap Presiden memberikan grasi kepada Merri dan melihat permasalahan narkoba dari perspektif gender. “Hukuman mati hanya menghilangkan korbannya, tokohnya, tapi tidak jaringannya,” ujarnya.
Menurut Azriana, yang perlu dibongkar sebenarnya adalah jaringan sindikat narkoba yang terus menjebak perempuan Indonesia miskin dan rentan untuk dijadikan kurir. Jika hal ini tidak terungkap dan pelaku terus berkeliaran, maka masih banyak Merri Utami lain di luar sana yang tertangkap. —Rappler.com