Temukan kembali sepak bola yang hilang
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Musim Liga Inggris 2016-2017 lebih tepat digambarkan sebagai musim di mana tim-tim besar menemukan kembali jati diri mereka. Mereka mampu mengembalikan sepak bola ke nilai-nilai dasarnya: kesenangan dan kegembiraan.
Ambil contoh Liverpool. Orang Komunis semakin solid dengan karakter baru yang disuntikkan Juergen Klopp. Di musim keduanya di Inggris, doktrin pria asal Mainz itu mulai merambah alam bawah sadar para pemainnya.
Tak heran, tim yang selalu disokong oleh kejayaan masa lalu, kini tampil bak prajurit yang mempertahankan benteng terakhirnya.
Hampir di setiap kompetisi mereka menyerbu kotak penalti lawan dengan pemain sebanyak-banyaknya dan membanjiri gawang dengan rentetan tembakan.
Antusiasme melawan tekanan yang dibangun sejak paruh musim terakhir mulai menemukan konsistensi di musim ini. Hal ini terlihat dari statistik penembakan Kepala. Saingan abadi Everton itu kini menjadi klub kedua yang mendaftar tembakan sasaran terbanyak (115 tembakan) setelah Tottenham Hotspur (120 tembakan).
Bahkan, total tembakan mereka juga termasuk yang tertinggi. Rekor tembakan mereka mencapai 212 tembakan. Hanya unggul satu tembakan dari Manchester City di posisi kedua dan—sekali lagi Spurs—di posisi pertama dengan 228 tendangan.
Menunggu kudeta terbesar dalam 27 tahun
Klopp: “Kami memaksakan dua gol dengan kualitas kami – keduanya sangat penting. Itu adalah gol ketiga yang hebat dan Daniel menyelesaikan pertandingan.” #BAGIAN KEHIDUPAN pic.twitter.com/8YOkYJSfJG
— Liverpool FC (@LFC) 27 Desember 2016
Semangat eksplosif Klopp kini menjadi suasana baru di Anfield. Aroma batu mulai merasuki seluruh kehidupan yang terlibat di lapangan.
“Ada tim yang suka mengontrol bola dan melakukan umpan-umpan indah. Seperti orkestra. Tapi lagunya sunyi. aku lebih memilih logam berat”katanya dalam wawancara yang dikutip Telegrap.
Antusiasme yang membara inilah yang membuat Liverpool tak tersentuh meski harus menelan kekalahan di Anfield. Faktanya, mereka hanya unggul dua kali dari tim menyalin.
Dan jika stadion telah kembali ke kejayaannya yang telah lama hilang, siapa yang dapat menghentikan raksasa yang baru bangkit dari kejayaannya?
Tercatat, pasukan Jordan Henderson dua kali memimpin papan skor. Bahkan kini mereka hanya terpaut 2 kemenangan dari Chelsea. Mereka telah menjadi pemburu gelar selama 10 minggu terakhir. Belum pernah tersingkir dari empat besar klasemen sejak pekan kedelapan.
Wajar jika harapan melambung tinggi. Hal ini mirip dengan tiga musim lalu ketika mereka nyaris memenangkan gelar Liga Premier – meskipun mereka harus berjuang keras. penerus dan melihat Manchester City memenangkan gelar bersama Manuel Pellegrini.
Namun situasinya berbeda kali ini. Liverpool terlalu bergantung pada Luis Suarez di era Brendan Rodgers. Jika Suarez mendominasi musim itu dengan 31 gol, kontribusinya kali ini lebih berimbang.
Liverpool merupakan tim dengan penyebaran striker yang cukup banyak yakni 12 pemain. Bandingkan dengan Chelsea yang hanya punya 10 pemain. Atau Arsenal yang hanya punya 9 pemain. Sebaran kontribusi gol hanya bisa disamai oleh Manchester City.
Dan posisi striker Liverpool tidak selalu dari striker. Faktanya, 30 gol mereka dicetak oleh gelandang. Ujung tombaknya hanya menyumbang 11 gol.
Statistik tersebut menunjukkan Liverpool lebih punya kolektivitas. Bahwa kualitas pemain utama dan pemain penggantinya tidak memiliki gap yang mencolok. TIDAK pertunjukan satu orang. Tentu saja mereka jauh lebih konsisten tanpa perlu khawatir dengan momok cedera.
Kini mereka tinggal menunggu tim biru terpeleset di 20 pertandingan sisa. Dan jika hal itu terjadi, para pekerja dan buruh di kota pelabuhan itu akan bersorak menyambut kudeta terbesar yang telah mereka nantikan selama 27 tahun.
Chelsea mengejar keajaiban Natal
Sangat senang dengan kemenangan ke-12 berturut-turut! abang saya @_Pedro17_ pembakaran! #Hari Tinju #Jembatan Stamford #CHEBOU @ChelseaFC pic.twitter.com/JTXy2jdm9U
— Marcos Alonso (@marcosalonso03) 26 Desember 2016
Tema serupa juga terjadi di Chelsea. Mereka menemukan kembali gairah mereka terhadap sepak bola bersama Antonio Conte. Nampaknya, tidak ada yang menyangka pemain-pemain yang enggan berjuang di lapangan, seperti Cesc Fabregas, Eden Hazard, Diego Costa, dan Nemanja Matic, bisa menjadi bintang dalam semalam beberapa bulan lalu.
Dan tema penemuan kembali jati diri terjadi pada formasi 3-4-3.
Sejak beralih ke sistem tiga bek, Chelsea telah mencetak gol garis alias menang beruntun selama 12 pertandingan dan hanya kebobolan 2 gol. Kemenangan beruntun ini membuat mereka menduduki puncak klasemen selama 6 minggu.
Memuncaki klasemen di tengah perayaan Natal jelas memiliki arti tersendiri bagi klub asal London barat tersebut. Sebab, tradisi mengatakan jika Chelsea memuncaki klasemen menjelang Natal, maka mereka akan dinobatkan sebagai juara. Hal ini terjadi pada Natal 2004, 2005, 2009 dan 2014.
Bagaimana dengan Natal 2016?
Posisi mereka di puncak klasemen tidak tergoyahkan. Perbedaan mereka cukup aman. Mereka unggul 6 poin dari Liverpool di peringkat kedua. Namun persaingannya masih panjang. Masih ada 20 pertandingan tersisa. Memastikan Chelsea meraih gelar juara Liga Inggris musim ini bisa dianggap sebagai penistaan terhadap takdir.
Di sisa 20 pertandingan, Chelsea masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Yakni tim-tim yang mengalahkan John Terry dan kawan-kawan dengan selisih besar di babak pertama. Mereka adalah Arsenal yang menang besar 3-0 atas Chelsea di Emirates Stadium. Dan Liverpool mengalahkan mereka 2-1 di depan fans biru.
Selain itu, Chelsea sebenarnya punya masalah di kedalaman skuad. Produksi gol mereka sangat bergantung pada Eden Hazard dan Diego Costa. Kehadiran penyumbang gol lainnya seperti Pedro Rodriguez baru muncul belakangan setelah lebih banyak dimainkan sejak awal.
Catatan statistik dari Pasar perpindahan Buktinya, Chelsea menjadi salah satu tim yang paling sedikit menggunakan pemainnya. Total pemain yang dimainkan sepanjang musim ini hanya 20 pemain. Ini berarti, menit bermain fokus hanya pada pemain tertentu.
Bandingkan dengan Manchester City yang menggunakan 24 pemain berbeda dalam 20 pertandingan. Atau juga dengan Liverpool dan Spurs yang masing-masing memiliki 23 pemain.
Conte tentang pemilihan nama Vittoria untuk putrinya (terjemahan literal dari bahasa Italia = kemenangan): “Bagaimana saya bisa memilih nama lain?”
— Markas Besar Chelsea (@Chelsea_HQ) 27 Desember 2016
Antonio Conte memang enggan move on tim pemenang. Faktanya, pemain bintang seperti Cesc Fabregas baru mulai terlibat dalam 3-4 pertandingan terakhir.
Bahkan saat Diego Costa absen saat melawan Bournemouth Senin 26 Desember lalu, ia tak memilih Michy Batshuayi sebagai ujung tombak pengganti Costa. Ia tetap “memaksa” pemain lama bermain dengan penyesuaian formasi. Caranya adalah dengan memasang Eden Hazard sebagai penyerang lubang, yakni salah sembilan.
Strategi Conte bisa berakhir petaka jika lebih dari dua pemain andalannya cedera. Lini tengah mereka masih cukup aman dengan kembalinya performa Fabregas. Ia bisa menjadi pemain pengganti bila salah satu dari dua gelandangnya, Nemanja Matic dan N’Golo Kante, mengalami cedera.
Namun bagaimana jika Costa, Hazard, dan Pedro semuanya absen? Perahu kecil Chelsea terancam terbalik.
Masalahnya, belum ada “badai” yang bisa mengguncang Chelsea. Mereka mendapat keuntungan karena tidak bermain di kompetisi Eropa. Para pemain punya waktu memperbaiki memadai.
Meski begitu, Conte tak tinggal diam. Ia memahami tim cenderung terpeleset di tengah kompetisi. Oleh karena itu, mantan pelatih Juventus itu sedang mencari pemain baru untuk bursa transfer Januari ini. Tujuannya adalah untuk memperkuat tim pemenang.
Sektor yang ditingkatkan adalah lini depan dan lini belakang. Alhasil, sejumlah nama pun dikaitkan dengan Chelsea. Mereka termasuk gelandang serang Real Madrid James Rodriguez, Antoine Griezmann dan bek Middlesbrough Ben Gibson.
Tanpa rekrutan baru, nasib sial di tengah perebutan gelar bisa menggagalkan singgasana sang juara di depan mata. Tentu saja Conte tidak menginginkan hal itu. Terutama Roman Abramovich. Hanya gelar Championship yang mampu mempertahankan kursi juru taktik asal Italia itu di Stamford Bridge.
Tetangga yang berisik jadi tidak terlalu berisik
Kemenangan yang bagus #Hari Tinju pic.twitter.com/FrrcoIEZt0
— David Silva (@21LVA) 26 Desember 2016
Jika tim-tim di atas berhasil menciptakan kembali sepak bola, tidak demikian halnya dengan Manchester United. Siapapun pengganti Sir Alex Ferguson, suasana tim selalu negatif. David Moyes, Louis van Gaal, hingga kini Jose Mourinho.
Tak satu pun dari mereka yang benar-benar bisa menyuntikkan semangat baru ke dalam diri Setan Merah. Begitu juga dengan kehadiran pemain mahal seperti Paul Pogba.
Manajer United Jose Mourinho pun nampaknya sudah kehilangan semangatnya. Sejak kehilangan kepercayaan sang pemain di Chelsea musim lalu, pria asal Portugal itu tampaknya masih kesulitan untuk mendapatkan kembali performa terbaiknya. Loyalitas para pemain yang menjadi senjatanya di semua klub lamanya seakan menguap di Old Trafford.
Para pemain tidak bertarung dengan bangga. Mereka tampil di lapangan sebagai pekerja yang hanya ingin memenuhi kewajiban jam kerjanya.
Mental negatif tanpa semangat ini juga berdampak pada prosesnya memperbaiki yang cukup panjang. Sejak kalah 0-4 dari Chelsea, butuh 5 pertandingan bagi United untuk kembali ke 5 pertandingan garis. Kondisi tersebut jelas tidak menunjukkan mentalitas tim pemburu gelar.
Situasi serupa kurang lebih juga terjadi pada rival dekatnya, Manchester City. Tetangga yang berisik itu hanya membuat keributan di awal musim. Kini mereka juga mengalami situasi yang sama. Mereka kalah berturut-turut melawan Chelsea 1-3 dan 2-4 dan hanya bisa menang lagi garis dalam 3 pertandingan terakhir.
Padahal, di awal musim, manajer City Pep Guardiola digadang-gadang bisa langsung meraih gelar juara. Tampaknya ekspektasi masyarakat terlalu tinggi. Ia jelas tak pernah menghadapi persaingan ketat semasa menangani Barcelona dan Bayern Munich.
Di Jerman dan Spanyol ia hanya perlu mengatasi satu atau dua tim serius untuk meraih gelar juara. Nyaman banget buat yang suka bereksperimen di lapangan hijau.
Di Inggris, bahkan tim promosi pun bisa mencuri poin dari Anda.
“Dia adalah pelatih yang arogan. “Merasa filosofi sepak bolanya yang terbaik,” ucapnya Peter Schmeichel mengkritik kinerja City ketika ia kalah 1-4 melawan sang juara bertahan.
Faktanya, Premier League adalah kompetisi yang berbeda. Semua tim selalu menjadi ancaman. Akibatnya, ruang percobaan menjadi sangat sempit. Tidak ada waktu untuk mencoba.
Kalau memaksakan diri, akibatnya bisa buruk. Misalnya, kiper yang lebih mampu menjadi bek dibandingkan menangkap bola bisa mengakibatkan Anda kebobolan 20 gol dalam 18 pertandingan. Rekor pertahanan terburuk di antara tim-tim yang duduk di lima besar klasemen.—Rappler.com