• November 26, 2024

Teringat era perjuangan di Jalan Ijen Kota Malang

MALANG, Indonesia — Memasuki Jalan Ijen, Kota Malang pada Minggu, 11 November 2017, serasa berjalan melewati masa lalu. Jalan sepanjang satu kilometer itu ditata dan dirancang seperti pada masa perang kemerdekaan. Kendaraan lapis baja, jeep, ojek, dan kisah perang kemerdekaan tersaji dalam Malang Tempo Doeloe (MTD). Lima jip berdiri di bundaran perlintasan balap, tas-tas disusun di sekeliling kendaraan.

Sejumlah orang berpakaian layaknya pejuang, dengan senjata laras panjang. Berjaga-jaga di balik tumpukan tas. Perang kemerdekaan ini mengingatkan kita pada perlawanan para pejuang dalam membela Republik. Termasuk kisah heroik Tentara Pelajar Indonesia (TRIP) pada masa Agresi Militer Belanda pada 31 Juli 1947. Pertempuran sengit terjadi antara TRIP dan pasukan Belanda di Jalan Salak (sekarang Jalan Pahlawan TRIP).

Sebanyak 35 anggota TRIP tewas dalam pertempuran tersebut, jenazah para pejuang dimakamkan secara massal. Monumen dan patung pahlawan TRIP dibangun di lokasi pertempuran. Lokasi pertarungan hanya berjarak sepelemparan batu dari lokasi MTD yang berbatasan dengan Jalan Ijen. Tempu Malang kembali digelar setelah empat tahun sebelumnya. Sejak tahun 2006, MTD diselenggarakan rutin setiap tahunnya.

“Tema kepahlawanan, sekaligus memperingati Hari Pahlawan,” kata Dwi Cahyono, penggagas MTD sekaligus Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).

Sementara itu, di Bundaran Simpang Balapan, dipasang baliho raksasa berisi foto dan informasi sejarah Kota Malang. Meliputi sejarah pemerintahan Kota Malang, sejarah pendidikan di Malang, sejarah bumi hangus Malang dan bangunan bersejarah di Kota Malang.

Sejumlah sepeda motor berukuran besar berdiri di depan baliho yang memuat foto dan informasi sejarah pertempuran di Malang. Sejumlah orang yang mengenakan pakaian khas militer sedang duduk di atas sepeda motor. Berbagai jenis sepeda motor antik dipamerkan dan pengunjung diajak berfoto bersama. Mereka adalah anggota komunitas sepeda motor kuno dimana mereka menjadi bagiannya Klub Motor Antik Indonesia (MACI) Cabang Malang.

Salah satunya adalah sepeda motor merek AJS. Sepeda motor produksi pabrikan sepeda motor asal Inggris ini menjadi salah satu favorit untuk selfie. Sekretaris MACI Cabang Malang Andik Puji mengaku bangga memiliki sepeda motor AJS. Selain bersejarah, motor klasik ini juga enak dikendarai. “Sebelumnya sepeda motor ini digunakan oleh para pendeta dan tentara Belanda,” ujarnya.

MACI Malang mempunyai anggota dengan koleksi sekitar 200 sepeda motor, dimana sekitar 150 diantaranya dalam kondisi laik jalan. Sisanya sedang dalam pemeliharaan dan perbaikan. Maklum, tidak ada suku cadang sepeda motor AJS yang dijual di pasaran.

Keluarkan camilan sebelumnya

Sebanyak 210 gerai yang mewakili kecamatan, sekolah, hotel, dan restoran menawarkan segalanya dari masa lalu. Warung-warung yang ada di sepanjang jalan memberikan suasana masa lalu dengan menyajikan berbagai jajanan, minuman, dan makanan ringan masa lalu. Seperti halnya tiwul, makanan pengganti nasi ini sudah jarang ditemukan. Ada moho, pecel point, cenil dan gatot. Berbagai jajanan ini laris manis di kalangan pengunjung.

Dwi Cahyono menjelaskan MTD merupakan bagian dari konservasi warisan meliputi bangunan, seni dan budaya yang ada di Kota Malang. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan nuansa masa lalu dalam tontonan, pesan dan seni yang disajikan dalam satu hari.

“Bagian dari arkeologi publik. Penelitian dilakukan dan referensi dicari. “Disajikan dengan bahasa masyarakat kebanyakan,” kata Dwi Cahyono.

Untuk mencari referensi, foto, dokumen dan data, Dwi Cahyono dan Ingggil Foundation menelusuri sejumlah perpustakaan di Belanda dan Inggris. Ia menemukan sejumlah buku dan arsip yang mendokumentasikan sejarah Malang. Pada saat yang sama, gagasan untuk membuat Museum Tempo Doeloe terus menggeliat.

“Data yang disajikan banyak, tapi harus disajikan dalam bahasa masyarakat. Agar menarik dan mudah dipelajari.”

Setelah jeda empat tahun, Dwi memulai dari awal. Sejauh ini banyak pertanyaan mengenai kapan acara tahunan tersebut akan kembali digelar. Di saat yang sama, banyak orang yang mengaku rindu MTD. MTD terhenti, katanya, karena pengunjungnya banyak sehingga tidak teratur dan tidak teratur. Bahkan, banyak PKL yang masuk ke arena MTD. Dengan demikian fungsi pendidikan sejarah dan seni budaya hilang.

MTD tahun ini kembali seperti awal tahun 2006, semuanya steril dari pedagang kaki lima. Tujuannya untuk mengapresiasi sejarah, seni, dan budaya secara bersama-sama. Yayasan Inggil menyiapkan drafnya hingga MTD ke-10. Pada saat itu tujuannya adalah untuk mencapainya festival kota Seluruh kawasan Kota Malang menjadi arena festival.

Dwi berharap masyarakat terinspirasi untuk merasa memiliki Kota Malang. Jika suatu bangunan bersejarah dibongkar dan dirusak, kita harus bersama-sama mempertahankannya. Jadi MTD bukan sekadar hajatan, tapi media pendidikan sejarah. Festival tersebut dipilih digelar di Jalan Ijen karena kawasan tersebut merupakan kawasan pemukiman yang memiliki bangunan bersejarah.

Rata-rata bangunannya masih mempertahankan arsitektur indie khas zaman Belanda. Berusia lebih dari 50 tahun. Namun saat ini, upaya konservasi warisan ditolak. Tidak ada upaya penyelamatan yang serius. Banyak bangunan bersejarah telah dibongkar dan dibentuk kembali.

Kota Malang, kata Dwi, beruntung. Malang ditata dan dirancang dengan konsep yang indah, penuh dengan taman dan ruang terbuka publik. Rencana Kota Malang dirancang oleh Thomas Karsten untuk mengadaptasi kawasan menjadi sejuk dan dikelilingi pegunungan sehingga nyaman dan asri untuk pemukiman.

“Setiap persimpangan ada tamannya, di kota lain tidak ada yang seperti ini. Hanya dipercantik dan dirawat. Berupa vegetasi untuk menyimpan oksigen yang cukup. “Bahkan menurut dokumen peta zaman Belanda, dibangun taman seluas empat meter di sepanjang tepian Sungai Brantas. Mulai dari RS Saiful Anwar hingga kota Jodipan yang penuh warna. Taman dibangun di kedua sisi sungai, rumah menghadap ke sungai.

Tak hanya manisan dan cerita sejarah, kesenian dan permainan tradisional juga dihadirkan di panggung MTD. Dua panggung mewakili pertunjukan seni tradisional. Seperti ludruk legi pahit yang tampil menghibur penonton dengan tema kepahlawanan. Kesenian asli Jawa Timur ini terpinggirkan dan jarang tampil di depan umum. “MTD merupakan media menampilkan kesenian tradisional. “Mereka yang terpinggirkan kini menjadi yang paling penting,” kata Dwi.

Suasana masa lalu juga terlihat dari penontonnya. Dari penonton yang memakai baju bekas, perempuan yang memakai kebaya dan kain jarik. Sedangkan pengunjung laki-laki mengenakan pakaian safari layaknya guru zaman dulu. Sayangnya tidak semua pengunjung memakai kostum kuno. “Sebelumnya Malang Tempo lebih menarik, hampir semua pengunjung memakai pakaian zaman dulu,” kata Wahyudi.

Dia datang bersama teman-temannya dengan mengenakan pakaian bekas. Wahyudi memilih mengenakan pakaian seorang penjual sapi jaman dulu, setelah sebelumnya mengenakan pakaian serba hitam. Wahyudi berharap MTD kembali hadir tahun depan dengan konsep dan suasana kental masa lalu. —Rappler.com

link alternatif sbobet