Tidak ada undangan untuk Bang Akbar
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Partai Golkar selalu punya cerita, bahkan saat Majelis Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang mereka selenggarakan pada 21-23 Mei di Hotel Novotel, Balikpapan, Kalimantan Timur, berlangsung tenang.
Kisah menarik antara lain datang dari Akbar Tandajung. Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar itu tiba di Hotel Novotel menggunakan taksi pada Senin malam, 22 Mei 2017.
“Pak Akbar, dia tidak diundang ke Rapimnas Nasional. Naik taksi,” kata Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Golkar Yorrys Raweyai Yorrys. media setelah menyambut Akbar di lobi hotel.
Sebagai petinggi partai, seharusnya Akbar dijemput dan dibawa ke Hotel Novotel, tempat digelarnya Munas Golkar. Yorrys mengatakan Akbar kecewa dengan kelalaian panitia ini.
Namun, apakah itu benar-benar kelalaian panitia saja?
Kelayakan menurun
Akbar merupakan petinggi Golkar yang kritis terhadap kepemimpinan Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar.
Sebelum terbang ke Balikpapan, Akbar dalam diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta, mengatakan elektabilitas Golkar sudah anjlok setahun setelah Setya Novanto mengambil alih.
“Catatan yang saya baca, elektabilitas (Golkar) turun, trennya turun. “Yang saya khawatirkan dari posisi petinggi Partai Golkar adalah penurunan ini berbahaya,” ujarnya Akbar Minggu 21 Mei 2017.
Akbar mengatakan, menurunnya elektabilitas Golkar antara lain karena konsolidasi yang dilakukan Setya Novanto masih belum maksimal. Novanto rutin turun ke daerah, tapi saya lihat konsolidasinya belum maksimal, kata Akbar.
Selain itu, lanjut Akbar, menurunnya elektabilitas Golkar juga disebabkan karena nama Setya Novanto terseret dalam pusaran kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik.
Akbar bahkan meminta agar kasus KTP Elektronik yang melibatkan nama Setya dibahas dalam Rapimnas Nasional. Peserta Rapimnas Nasional berhak menyampaikan hal-hal yang memerlukan perhatian, termasuk yang berkaitan dengan tokoh partai dan pimpinan, kata Akbar.
Sorotan terhadap Setya Novanto juga datang dari Yorrys. Pada 24 April, Yorrys menyebut turunnya elektabilitas Golkar karena adanya dugaan kasus korupsi proyek KTP Elektronik.
Yorrys mengklaim, sejak Golkar memutuskan mendukung Presiden Jokowi pada Munas Mei tahun lalu, elektabilitas Golkar meningkat signifikan.
Namun dengan beberapa kejadian belakangan ini, khususnya terungkapnya korupsi e-KTP, (elektabilitas Partai Golkar) relatif stagnan bahkan menurun, kata Yorrys.
Penurunan elektabilitas Golkar memang terjadi. Hal ini terlihat dari hasil survei Jaringan Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Pada Oktober 2016, tingkat elektabilitas Golkar sebesar 15,6 persen. Pada Mei 2017, angkanya sebesar 13,5 persen.
Hasil survei ini disampaikan kepada peserta Rapimnas di Novotel, Minggu 21 Mei 2017. Namun, peneliti LSI Adjie Alfaraby mengatakan anjloknya elektabilitas lebih disebabkan oleh dukungan Golkar terhadap Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta.
“Masyarakat ini terbagi antara anti-Ahok dan pro-Ahok. “Secara nasional anti Ahok lebih besar sehingga berpengaruh terhadap Golkar,” kata Adjie Alfaraby.
Harus tetap solid
Dalam Majelis Nasional kali ini, Setya Novanto banyak disorot. Namun, tidak semua orang mengkritik kinerjanya. Hal itu terlihat ketika Rapimnas menetapkan Setya sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu).
Bahkan Setya disebut-sebut bakal dijagokan sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo pada Pilpres dan Wakil Presiden 2019 mendatang. Terima kasih atas kepercayaannya, kata Setya.
Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono bahkan meminta Setya menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Jokowi untuk persiapan Pilpres dan Wakil Presiden 2019.
Dukungan serupa juga disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Aburizal Bakrie. Aburizal mengatakan, dukungan terhadap Jokowi akan kembali mendongkrak tingkat elektabilitas Golkar.
Ical, sapaan akrab Aburizal, pun mewanti-wanti kader Golkar agar tetap teguh dan tidak saling menyudutkan. “Jangan terlalu banyak bergosip, berspekulasi. “Tenor sesama teman, jangan pernah potong lipatannya,” kata Aburizal.
Tentu saja, dia tidak menyebutkan secara spesifik kepada siapa pesan tersebut ditujukan. Namun, Ical menjelaskan maksudnya dengan ‘memotong menjadi lipatan’.
Menurutnya, saat ini sedang terjadi ‘kerusuhan’ di tubuh Golkar. Ada pandangan berbeda. Meski demikian, ia berharap perbedaan pandangan tersebut tidak menjadi gesekan.
“Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada kekhawatiran. Di era demokrasi, perbedaan adalah hal yang lumrah. Namun jangan sampai perbedaan tersebut menimbulkan gesekan, kata Aburizal.
Gesekan kerap terjadi antar politisi Golkar. Masih ingat perseteruan Aburizal dan Agung Laksono saat Pilpres dan Wakil Presiden 2014 lalu?
Saat itu Golkar yang dipimpin Aburizal mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun kebijakan partai ini tidak sepenuhnya didukung oleh pengurus, fungsionaris, dan kadernya.
Agung Laksono ingin Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih pendukung Probowo-Hatta. Konflik Aburizal-Agung Laksono melahirkan dua Konferensi Nasional (Munas), yaitu Konferensi Nasional Bali (Aburizal) dan Konferensi Nasional Ancol (Agung Laksono).
Perselisihan kedua kubu baru berakhir pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang diselenggarakan pada Mei 2016 di Bali. Dalam munaslub ini, Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Umum Golkar.
Setya kemudian merangkul kubu Aburizal dan Agung Laksono. Selain itu, Munaslub juga memutuskan untuk mendukung pemerintahan Jokowi dan kembali mendukungnya sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.
Namun perbedaan pendapat sulit untuk diredam. Meski begitu, Ketua Harian Golkar sekaligus penyelenggara Rapimnas Nasional Nurdin Halid mengatakan kelalaian panitia dalam menjemput Akbar Tandjung bukan karena kritiknya.
“Tentunya banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu kami mohon maaf secara khusus kepada Bang Akbar Tandajung. “Tidak ada yang menjemput saya sampai kami tiba di hotel ini,” kata Nurdin Halid. —Rappler.com