Tonny Trimarsanto menempuh jalur sunyi dalam film dokumenter transgender
- keren989
- 0
SOLO, Indonesia — Nama asli Renita adalah Muhammad Zein Pundagau. Ia lahir dan besar di sebuah desa di Donggala, Sulawesi Tengah. Ia pernah dipukul oleh orang tuanya karena memilih menjadi perempuan, padahal mereka ingin anaknya menjadi seorang khatib. Renita diusir dari kampung halamannya karena keluarga besarnya tidak mengakui kaum transgender.
Renita kemudian berangkat ke Palu dan bekerja di salon untuk bertahan hidup, sebelum pindah ke tempat hiburan malam di Balikpapan, Kalimantan Timur. Atas ajakan temannya, ia akhirnya memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan menjadi pekerja seks di hotel.
Sayangnya, kehidupan kaum transgender di kota metropolitan tidak sesuai harapannya. Karena dianggap mengganggu ketertiban umum, Renita kerap dikejar, ditangkap, diperas pihak berwajib, hingga ditahan di sel bersama penderita gangguan jiwa. Yang lebih disayangkan, ia pernah ditusuk perutnya oleh pelanggan yang menolak membayar.
Film dokumenter pendek berjudul Renita Renita Merupakan karya pertama Tonny Trimarsanto yang bertema transgender dan telah diputar di puluhan festival film di berbagai negara. Awalnya dibuat untuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai media advokasi hak-hak minoritas, film ini di luar dugaan akan membawa sutradaranya semakin jauh memasuki dunia transgender.
Setelah meraih penghargaan Best Short Asia di Cinemanila International Film Festival 2007 di Manila dan Best Film di Culture Unplugged International Film Festival 2009 di India, Tonny membuat film tentang perjalanan pulang Renita dari Jakarta ke kampung halamannya. Film berdurasi 98 menit ini juga sempat diputar di beberapa negara, salah satunya di ajang bergengsi International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA).
“Renita, Renita memenangkan hadiah uang tunai dalam kompetisi film, kemudian saya bisa membiayai Renita yang ingin bertemu keluarganya dan sekaligus saya membuat film keduanya Mangga. “Film ini untuk menginspirasi keluarga dan orang tua agar bisa menerima anak-anak transgendernya,” kata Tonny saat berbincang di Rumah Dokumenter di Klaten – tempat ia memproduksi film-filmnya dan juga merupakan sekolah terbuka bagi generasi muda yang ingin belajar membuat film dokumenter. . .
Selesai dengan ManggaTonny semakin berani mengangkat isu terkait hak minoritas di layar dokumenter melalui film bulu matayang bercerita tentang komunitas transgender di Bireun yang bertahan di tengah penerapan hukum syariah di Aceh.
(BACA JUGA: Film ‘Bulu Mata’ mengupas diskriminasi transgender di Aceh)
Kini para juri dan mentor kompetisi film dokumenter Eagle Award sedang mematangkan dua judul lainnya, yakni. Hanya, tentang komunitas asrama Islam transgender di Kotagede, Yogyakarta yang disegel sekelompok ormas; Dan Bissu yang menceritakan tentang para pemimpin spiritual di Bone yang juga dianggap sebagai orang suci dan bukan laki-laki atau perempuan.
Dari layar lebar hingga dokumenter
Debut Tonny di dunia perfilman sebenarnya diawali sebagai peneliti materi visual, penulis skenario, dan direktur artistik film-film Garin Nugroho sejak film Bulan dipenuhi rumput liar. Ia pernah memenangkan kategori Film Art Director Terbaik Daun di atas bantal di berbagai festival film internasional.
Namun rupanya glamornya industri film layar lebar tak lantas membuat Tonny betah. Salah satu alasannya adalah tidak adanya tantangan dalam membuat film fiksi. Dengan puluhan kru, peralatan lengkap dan dukungan teknologi Computer Generated Imagery (CGI), proses pembuatan sebuah film layar lebar dapat dikelola dengan mudah.
Sebaliknya, film dokumenter yang menggambarkan realitas masyarakat lebih banyak menangkap peristiwa spontan, bercerita dan kerap mengambil risiko ketika bersentuhan dengan isu-isu kontroversial dan sensitif, seperti yang dialaminya di Sampit, Ambon, Timor Leste, dan Papua. Tapi justru itulah yang membuat Tony tertarik.
Ia tahu sejak awal bahwa film dokumenter adalah kasta terbawah dalam dunia bisnis audiovisual di bawah industri periklanan, layar lebar, dan sinetron. Pasar film dokumenter terbatas pada festival, akademisi, dan komunitas. Terlebih lagi, sejarah sangat erat kaitannya dengan propaganda, mulai dari masa Hitler hingga Suharto, yang menjadikan film dokumenter kurang populer.
“Film dokumenter itu sunyi, mereka tidak menjanjikan uang. “Tapi itulah ketertarikan saya, menjadikan film sebagai media untuk mengekspresikan sikap saya terhadap suatu isu,” kata Tonny.
Meski bermodal terbatas, Tonny cukup produktif memproduksi film dengan berbagai tema sosial termasuk Tembikar plastik, Doa Terakhir, Ini hari yang indah, Pria dengan Dua Belas Istri, Tikus kawin dengan werengDan Telur, Ayam, dan Dimana Tuan Kelly-film pendek tentang kisah kekerasan di Papua.
Berbeda dengan sineas pada umumnya, Tonny bukanlah penggemar rezim gambar bagus dalam karyanya. Baginya, gambar yang bagus dalam sebuah film dokumenter adalah yang dekat dengan subjeknya, dimana subjeknya secara spontan berani bercerita langsung ke kamera, meski pencahayaan dan aspek artistiknya kurang.
Masalah minoritas dan transgender
Sejak film Renita Renita Dan Mangga, Tonny lebih dikenal sebagai sineas film dokumenter yang khusus mengangkat isu transgender. Bahkan, berbagai penyelenggara festival film internasional kerap menanyakan apakah mereka punya film serupa untuk diputar dan diapresiasi.
Ketertarikan Tonny memotret dunia transgender didorong oleh keinginannya membuat film advokasi yang membela hak-hak kelompok minoritas di Indonesia. Transgender ada di masyarakat namun seringkali luput dari perhatian publik.
“Saya merasa tertarik dengan isu-isu minoritas karena mereka pantas untuk dilihat dan dimanusiakan. “Dan film-film saya tentang transgender adalah dialog yang tidak ada habisnya,” kata Tonny.
Umumnya masyarakat memandang kelompok transgender dengan stigma negatif dan memperlakukan mereka dengan diskriminasi. Sementara itu, saat itu belum ada film dengan teknik pengambilan gambar jarak jauh yang secara gamblang mengungkap sisi kehidupan transgender.
“Kalaupun ada, ambil fotonya dengan telefoto, curi secara diam-diam, dan dari sudut pandang orang luar. “Saya membuat film dengan kamera yang sangat dekat dengan mereka, dan membiarkan mereka berani bercerita ke kamera,” kata Tonny.
Renita, Renita menjadi film dokumenter pertama tentang kaum transgender yang memiliki keintiman dengan subjeknya. Sejak awal, Tony menempatkan dirinya di pihak mereka dan berusaha membangun kedekatan personal agar karakter yang difilmkan tidak merasa risih jika diikuti oleh kamera.
Tonny mengambil pendekatan yang lebih berempati terhadap kelompok transgender, membuat mereka merasa bahwa sutradara itu seperti teman yang bisa dipercaya untuk berbagi kisah dan kehidupan pribadi mereka. Dia perlu menjadi bagian dari komunitas untuk memahami dunia mereka jika ingin membuat film yang bagus.
“Ada waria dari komunitas asrama Islam di Kotagede yang ditangkap dan ditahan di Bantul. “Dia menelepon saya, di tengah hujan deras saya pergi ke sana berkunjung, membawa rokok dan makanan,” kata Tonny.
“Mereka orang sehat, tapi sering diperlakukan tidak pantas, kalau ketahuan dibunuh orang yang sakit jiwa,” katanya.
Dalam membangun cerita dalam film-filmnya, Tony mencoba mengungkap sisi kemanusiaan kaum transgender yang belum banyak diketahui orang. Misalnya, latar belakang keluarga mereka, penyiksaan dan pengucilan yang mereka alami, hingga isu diskriminasi dalam segala hal – mulai dari mengurus administrasi kependudukan hingga mencari tempat tinggal.
Hidupkan filmnya
Pembuatan film dokumenter membutuhkan biaya yang besar, namun tidak mendatangkan pemasukan yang banyak. Tonny sadar, pembuat film dokumenter tidak akan mampu bertahan hanya dengan mengandalkan film dokumenter dalam negeri – meski diakuinya, berbagai kampus kerap meminta pemutaran dan diskusi kajian akademis tentang gender.
Untuk bisa menunjang film-film berikutnya, Tonny selalu mengirimkan karyanya ke festival film internasional. Selain itu, ia juga menjual film-filmnya ke distributor internasional dengan sistem royalti yang dibayarkan setiap enam bulan sekali. Tonny juga menyuplai film-filmnya ke perpustakaan di berbagai universitas di Eropa dan Amerika Utara sebagai koleksi audiovisual.
Sejumlah karyanya juga telah dibeli oleh saluran televisi luar negeri, seperti NHK di Jepang. Tak jarang, Tonny mendapat pendanaan film dari sejumlah lembaga donor yang berminat memaparkan ide-ide yang akan diangkatnya dalam film-filmnya.
Terkait apresiasi film dokumenter, ia menceritakan pengalamannya film Renita Renita ditolak pada Jakarta International Film Festival (JIFFest) 2006 karena dianggap tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan panitia. Namun, film berdurasi 16 menit tersebut justru diminta oleh kurator Festival Film Internasional Singapura 2007 untuk diputar di festival tersebut.
“Untuk bertahan di dunia dokumenter, Anda harus membangun jaringan, terutama di luar negeri yang prospeknya bagus. “Dengan begitu saya bisa terus mendukung film-film yang saya buat selanjutnya,” kata Tonny yang kini juga menjadi dosen tamu di beberapa kampus di Indonesia.
Beberapa kali ia digoda dalam bentuk tawaran menggarap sinetron dan film fiksi, namun semuanya ia tolak dengan halus meski menjanjikan penghasilan lebih besar. Ia ingin tetap berada di luar arus utama perfilman Indonesia dan memilih mengikuti jalur film dokumenter yang tenang dan menyoroti kehidupan kaum minoritas. —Rappler.com