• September 18, 2025

Tren hukuman bagi koruptor semakin ringan dari tahun ke tahun

JAKARTA, Indonesia – Dari tahun ke tahun, Indonesia Corruption Watch (ICW) memantau apakah hukuman bagi koruptor semakin ringan.

Berdasarkan pantauan ICW pada Januari hingga Juni 2016, rata-rata hukuman terdakwa korupsi hanya 2 tahun 1 bulan penjara.

Pada periode itu, ICW ambil catatan Terdapat 325 kasus korupsi yang melibatkan 384 terdakwa dengan rincian:

  • 243 perkara – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
  • 67 kasus – Mahkamah Agung
  • 15 kasus – Mahkamah Agung (Kasasi dan Peninjauan Kembali)

Dari 325 kasus yang dipantau ICW, nilai kerugian negara yang ditimbulkan sekitar Rp1,5 miliar (Rp1.499.408.896.636) dan US$ 219.770.392 (hampir Rp3 miliar atau Rp2.916.353.001).

Ada juga sejumlah suap Rp1.025.000.000, US$272.000, SG $182.700, yang totalnya sekitar Rp6,4 miliar (Rp 6.415.030.638).

Sedangkan besaran dendanya kurang lebih Rp 30 miliar (Rp 30.055.000.000) dan jumlah uang pengganti yang harus dikembalikan oleh koruptor sekitar Rp. 456 miliar (Rp 456.138.028.928).

Bukan tren baru

Hal tersebut diungkapkan peneliti ICW, Aradillah Caesar.

“Kita sudah lama melihat (tren hukuman ringan bagi koruptor) terjadi, tapi kita tidak memasukkannya, apa alasannya? Dokumentasinya sulit ditemukan, kata Aradillah kepada Rappler, Selasa, 31 Agustus.

“Tren hukuman dua tahun rata-rata tidak berbeda jauh dari tahun 2012 hingga tahun 2016, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa pada tahun 2011, 2010, 2009, 2008 trennya juga tidak jauh berbeda. “Itu hanya keputusan ringan,” kata Arad.

“Nggak mungkin kan, kalau misalnya tahun 2010, 2011, 2009 semua keputusannya susah, tiba-tiba tahun 2012 keputusannya ringan?” dia berkata.

“Pasti ada fenomena tertentu, dan fenomena tersebut tidak pernah ada pada tahun 2012. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa tren rendahnya putusan (hukuman) kasus korupsi sudah berlangsung sejak lama,” ujarnya.

Catatan ICW tentang tren korupsi di Indonesia

Dari hasil pemantauan Januari 2012 hingga Juni 2016, ICW menemukan 7 permasalahan pokok, yaitu:

1. Hukuman bagi pelaku korupsi menjadi lebih ringan dan berpihak pada koruptor

“Hal ini mungkin terjadi karena hakim lebih cenderung menjatuhkan hukuman minimal pada ketentuan pasal 2 (4 tahun) dan pasal 3 (1 tahun). Hukuman ringan hakim terhadap koruptor justru hanya akan menguntungkan dan mengurangi efek jera bagi pelakunya, kata Aradillah.

“Menghukum koruptor seberat-beratnya hanya menjadi jargon belaka saat ini, karena dalam praktiknya hakim justru menghukum koruptor seberat-beratnya.”

2. Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan ringan

“Tidak tepat jika jaksa dalam mengajukan tuntutan cenderung menuntut hukuman yang paling ringan tanpa perhitungan yang matang. Dalam tren penjatuhan hukuman, masih banyak disparitas dalam penuntutan. “Dalam kasus ini, masih banyak terdakwa yang dituntut dengan berbagai cara, namun kerugian negara yang ditimbulkan hampir sama,” kata Aradillah.

3. Penjatuhan pidana denda dan pidana korupsi belum optimal

Besaran putusan berupa uang pengganti yang harus dikembalikan kepada para koruptor adalah sebesar Rp456.138.028.928,- kurang dari 30 persen total kerugian negara yang ditimbulkan yakni sebesar Rp1,5 triliun, kata Aradillah mengacu pada data Januari. 2016 hingga Juni 2016.

4. Ketimpangan dalam pengambilan keputusan

“Pertama, ketimpangan pengambilan keputusan pada akhirnya akan merugikan rasa keadilan masyarakat. Kesenjangan tersebut membuat putusan pengadilan dipertanyakan publik. Sebab, perkara serupa diputuskan secara berbeda. “Dalam konteks korupsi, ketimpangan memberikan peluang putusan terhadap perkara korupsi yang kerugian negaranya besar dapat diputus dengan lebih enteng dibandingkan perkara yang kerugian negaranya kecil,” kata Aradillah.

Kedua, dalam kondisi ekstrim, disparitas keputusan dapat terjadi akibat keputusan transaksi jual beli. Sebab, hakim yang mempunyai independensi dan independensi dapat memutus suatu perkara korupsi sesuai keinginannya tanpa pertimbangannya dapat dipertanggungjawabkan.

5. Aktor yang paling banyak terlibat korupsi adalah pegawai negeri sipil dan swasta

“Dua aktor yang mendominasi putusan Pengadilan Tipikor ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam hubungan kedua aktor ini dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan,” kata Aradillah.

6. Penuntutan dan pemidanaan berupa pencabutan hak masih minim

“Pengadilan tipikor dan kejaksaan harus mulai mengadili dan memberikan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik, pencabutan hak imunitas, dan dana pensiun,” kata Aradillah.

7. Pengelolaan informasi di Mahkamah Agung kurang memadai

“Dalam tren putusan, masih banyak pengadilan yang tidak memperbarui putusan perkara korupsi. “Selain permasalahan lambatnya kinerja pengadilan dalam keterbukaan informasi, permasalahan lain yang dihadapi adalah masih banyak putusan yang tidak dapat terbaca seluruhnya atau sebagian dari putusan tersebut,” kata Aradillah.

—Rappler.com

Keluaran Hongkong