Tuntut diakhirinya pelecehan seksual, buruh membuat film dokumenter
- keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia – Sekelompok pekerja frustrasi dengan pelecehan seksual di tempat kerja sebuah film dokumenter yang dibuat sebagai bagian dari upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Film berdurasi 20 menit itu bertajuk Angka Menjadi Suara, dengan Kawasan Berikat Kepulauan Cakung (KBN) di Jakarta Utara sebagai lokasinya. lembaga.
Disutradarai oleh seorang pekerja wanita, film tersebut menceritakan pelecehan seksual yang dialami 25 pekerja perempuan dari 15 pabrik garmen di wilayah tersebut.
Mereka berharap tingginya angka pelecehan terhadap pekerja perempuan di tempat kerja tidak hanya tercatat, namun juga menjadi suara yang membawa perubahan.
“Film ini mengambil bagian dalam perjuangan buruh perempuan untuk memperoleh tiga hal, yaitu sosialisasi pelecehan seksual di lingkungan perusahaan, pembelaan posisi buruh perempuan dan hak maternitas bagi buruh perempuan, dalam kurun waktu 2016 hingga 2017,” ujar Dian Septi Trisnanti, sutradara , dikatakan. Angka menjadi suara di Yogyakarta pada Kamis, 14 September.
Film ini diputar pada malam tanggal 13 September 2017 di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogayakarta dan Forum Diskusi Jurnalis Yogyakarta (FDWY).
Dalam satu adegan, seorang juru parkir menyentuh bagian dada, pinggang, dan paha seorang pekerja wanita yang sedang mengendarai sepeda motor hendak meninggalkan lokasi pabrik. Wanita itu tampak marah dan berusaha menangkis tangannya petugas parkir melakukannya dengan senyum ceria. Tak lama kemudian, sang juru parkir tampil gaya di depan kamera tak jauh dari tempatnya berdiri.
Ada pula adegan diskusi antara aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan manajemen PT KBN. Manajemen pria terkejut setelah mengetahui hal ini panggilan kucing termasuk pelecehan seksual. Menurut dia panggilan kucing seperti bersiul memanggil wanita di jalan adalah hal yang lumrah dan wajar.
Jika laki-laki memandang pelecehan seksual di tempat kerja sebagai sesuatu yang normal, maka hal tersebut terjadi pada pekerja perempuan rasa malu atau gangguan yang memalukan yang dapat mengakibatkan pemutusan kontrak kerja.
“Dari hasil survei bentuk pelecehan dimulai dari panggilan kucing“Saya memencet paha, dada, pinggang, mengintip saat di toilet, menyodok vaginanya, bahkan menyebabkan kehamilan dan kematian pada bayi,” kata Dian yang juga menjabat sebagai sekretaris FBLP.
Menurut perempuan yang juga penyiar radio komunitas Marsinah ini, ada 25 pekerja dari 15 perusahaan pakaian yang ingin melaporkan pelecehan seksual. Namun tak satu pun dari mereka yang mau melanjutkan laporan tersebut ke proses hukum. Para korban khawatir bahwa laporan resmi akan menimbulkan masalah bagi mereka di kemudian hari.
“Mereka takut kontrak mereka akan diputus dan mereka akan diperkosa daftar hitam oleh pabrik lain dan berjuang untuk bekerja,” katanya.
Pelaku pelecehan sangat beragam, mulai dari juru parkir, mekanik, rekan kerja hingga atasan di pabrik.
Sejak diluncurkan pada Mei 2017, film ini telah diputar di 39 titik yang tersebar di beberapa kota, antara lain Makasar, Kalimantan, Jombang, Malang, Yogyakarta, Bandung, dan Semarang.
FBLP berharap film ini akan melahirkan gerakan buruh nasional untuk mengakhiri pelecehan seksual terhadap perempuan.
Menurut Dian, banyak pelaku industri yang memandang isu pelecehan seksual sebagai isu yang tidak penting.
“Perempuan bisa menunggu sampai nanti, masih banyak hal yang lebih penting, kesejahteraan pekerja, kehamilan, K3, belum,” kata Dian, menggaungkan ucapan banyak pihak, baik dari manajemen pabrik, pengelola KBN, dan serikat pekerja itu sendiri.
“Apa yang terjadi adalah pelecehan dibiarkan menjadi alat untuk mengintimidasi pekerja perempuan demi keuntungan industri,” katanya.
Ia juga mengatakan, hingga saat ini film tersebut belum diputar di KBN Cakung.
“Mereka (KBN) bilang akan memainkannya kalau Menteri Yohana datang (Yohana Yambise, Menteri Perempuan). “Kita siapa? Mereka lebih mumpuni mengundang menteri,” kata Dian.
Dalam diskusi usai pemutaran film, Tin Kusnah menambahkan, dari 40 perusahaan yang diundang untuk melakukan sosialisasi tentang pelecehan seksual, hanya 5 perusahaan yang hadir. Panitia banyak mendapat penolakan dari satpam saat memberikan undangan.
Dari sekitar 40 perusahaan sandang di KBN Cakung, 90 persen pekerjanya adalah perempuan.
Di dalam lokasi KBN, sejumlah rambu pencegahan pelecehan seksual berbahasa Inggris telah dipasang. Tanda itu muncul sebagai bagian dari Kode etik bahwa pabrik ramah perempuan dan menerapkan kesetaraan gender, salah satunya dengan menempatkan pekerja perempuan pada kondisi kerja yang aman dan bebas dari pelecehan.
Banyak pabrik pakaian juga mengikuti langkah ini pelatihan mengenai perlindungan ketenagakerjaan dan gender untuk mendapatkan sertifikat dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Namun menurutnya hal tersebut kurang efektif karena rambu-rambu tersebut ditulis dengan bahasa yang tidak dipahami banyak pekerja dan pelatihan manajemen hanya diikuti oleh pimpinan pabrik.
“Itu hanya sekedar pencitraan agar pabrik tidak kehilangan kontrak dengan industri besar seperti Adidas, Zara, GAP dan lain-lain. Jika ada pemeriksaan tembaga Dalam kasus ini, pekerja yang hamil menutupi perutnya dengan karton. Karena Kode etik melarang pekerja perempuan hamil untuk bekerja,” kata Tin Kusnah.
Ia berharap sosialisasi melalui film dan papan tanda serta diskusi langsung dan isu pelecehan terhadap perempuan sebagai isu penting akan membuka kesadaran dan gerakan di tempat lain. – Rappler.com