Tuntutan pekerja media di Hari Buruh Internasional
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – Lanskap industri media berubah dengan cepat seiring dengan perkembangan teknologi digital, termasuk di Indonesia. Di Amerika Serikat, saat ini terdapat robot yang telah menulis lebih dari 1 miliar berita. Di Jepang sudah ada robot pembaca berita, bahkan sudah ada robot etika jurnalisme.
Sementara itu, di Indonesia, terdapat sejumlah perubahan penting yang terjadi di industri media dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah perubahan iklim kerja pekerja media akibat konvergensi yang dilakukan sejumlah media. Konvergensi dalam ruang pemberitaan mendorong “perampingan” karena pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh sejumlah orang kini dapat ditangani dengan sumber daya manusia yang lebih sedikit.
Perubahan lain dari tren digitalisasi ini adalah media konvensional mulai memudar. Hal ini ditandai dengan menurunnya sirkulasi dan periklanan, misalnya di media cetak. Perkembangan ini diduga turut menyebabkan ditutupnya sejumlah media cetak, atau peralihan dari media cetak ke edisi digital, pada tahun 2015.
Perkembangan baru seperti ini jelas akan berdampak besar pada pekerja media. Namun perubahan metode kerja ini tidak berdampak pada kesejahteraan pekerja media. Faktanya, kasus ketenagakerjaan masih menjadi hal yang menonjol di era digital saat ini.
Digitalisasi perekonomian juga telah melahirkan industri kreatif berbasis teknologi dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, industri kreatif ini memperoleh pendapatan sebesar Rp. 852 triliun atau 7,38 persen terhadap produk domestik bruto nasional, menyerap tenaga kerja 15,9 juta orang (13,90%), dan nilai ekspor US$ 19,4 miliar (12,88%). Tak heran, Presiden Joko Widodo meyakini industri kreatif akan menjadi “tulang punggung” perekonomian Indonesia.
Namun para pekerja di industri kreatif juga memiliki sejumlah persoalan yang relatif tidak pernah terkuak ke permukaan. Misalnya, pada sensus yang sama, 31,9 persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam per minggu atau lebih dari batas 40 jam per minggu yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Artinya, lebih dari 1/3 pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork atau mengalami overwork. Salah satu penyebabnya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar (kontrak, outsourcing, magang tidak dibayar) sehingga pekerja tidak memiliki daya tawar di hadapan pemberi kerja dan perlindungan negara.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai lembaga pemerintah yang mengelola sektor industri ini banyak menangani hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan usaha dan penanaman modal (asing) di industri kreatif, namun kurang memperhatikan kondisi pekerjanya.
Oleh karena itu, Bekraf harus melibatkan unsur serikat pekerja dalam pengambilan kebijakannya agar pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif dapat seimbang dan tidak selalu didominasi oleh pengusaha. Masih banyak permasalahan lain yang belum terungkap dan harus diselesaikan bersama oleh pekerja melalui serikat pekerjanya.
Sementara itu, kasus PHK sepihak cenderung meningkat pada tahun 2015 hingga 2016. Misalnya kasus Harian Semarang, Cakra TV, Bloomberg TV dan Kompas Gramedia, serta beberapa kasus lain yang tidak diberitakan. Terbaru, kasus pemecatan puluhan pegawai Indonesia Finance Today (IFT) pada tahun 2016 yang tidak diberikan pesangon dan gaji terakhirnya berujung pada ranah pidana.
Pada tahun 2017, kasus PHK juga menimpa tiga orang jurnalis Gatra yang sudah bekerja lebih dari tiga tahun namun masih diperlakukan sebagai pegawai kontrak. PHK serupa juga dialami 7 karyawan kontrak Inews TV yang bekerja lebih dari tiga tahun. Dan yang miris, masih terjadi pemusnahan serikat pekerja yang dilakukan oleh manajemen Inews TV.
Hal serupa juga terjadi pada Serikat Pekerja Inews TV Bersatu (SKIB), dimana ketua serikatnya, Iman Lesmana, juga dipecat. SKIB merupakan serikat pekerja di lingkungan perusahaan PT SUN Televisi Network.
Di sejumlah daerah, jurnalis dan pekerja media lainnya masih menghadapi permasalahan klasik. Masih banyak ditemui sejumlah media daerah yang membayar pekerja, termasuk jurnalis, dengan upah rendah, bahkan di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) terus menemukan praktik kontrak jangka panjang yang dilakukan perusahaan media di daerah. Belum lagi aspek jaminan sosial yang diterima pekerja masih minim.
Selain mendapat gaji rendah, banyak jurnalis yang juga terpaksa bekerja melebihi gaji yang mereka terima. Kebanyakan kontributor dan koresponden di Indonesia dibayar berdasarkan jumlah berita yang disiarkan atau diterbitkan. Mereka dituntut ketat untuk loyal kepada perusahaan, tidak boleh bekerja di media lain dalam waktu yang bersamaan, namun gajinya hanya berdasarkan jumlah pemberitaan.
Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen menunjukkan komposisi gaji kontributor yang disurvei berkisar antara Rp10 ribu per berita hingga lebih dari 500 ribu rupiah per berita dengan rincian 42% mendapat honor Rp 10.000 diterima – Rp 100.000, 22% mendapat honor Rp100.000 – Rp200.000, 25 persen mendapat honor Rp200.000 – Rp300.000, 8 persen mendapat honor Rp300.000 – Rp500.000 diterima, dan ada 500 persen Rp500 per cerita.
Jumlah media terus bertambah, kesejahteraan pekerja media minim, dan urusan ketenagakerjaan selalu dibayang-bayangi. Ironisnya, masih sulit bagi serikat pekerja untuk berkembang di perusahaan pers besar nasional dan regional. Data terkini yang dihimpun dari riset AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) menunjukkan, hanya 25 serikat pekerja media yang dapat diidentifikasi di seluruh Indonesia.
Jumlah tersebut dinilai sangat minim, hanya sekitar 1 persen dari total media berdasarkan data Dewan Pers. Padahal serikat pekerja/serikat buruh sudah diatur dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Tindakan penindasan terhadap perusahaan merupakan bentuk pelanggaran nyata.
Setiap memperingati Hari Buruh Internasional (May Day), 1 Mei, Forum Pekerja Media (FPM) tak kenal lelah menyuarakan hak-hak buruh. Sehubungan dengan perayaan May Day, 1 Mei 2017, Forum Pekerja Media menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak perusahaan media untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis dan karyawannya serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Sudah saatnya jurnalis Indonesia diberikan upah yang layak agar bisa bekerja lebih profesional dan menghasilkan karya jurnalistik berkualitas yang bermanfaat bagi masyarakat.
2. Mendesak agar perusahaan media tidak mengabaikan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) jurnalis dan karyawannya. Belum lama ini, seorang jurnalis foto salah satu media di Jakarta tewas saat meliput banjir di kawasan Kemang. Jurnalis foto ini sedang mengalami kelelahan kerja. Dalam enam bulan terakhir, setidaknya 9 jurnalis di Jakarta menjadi korban kekerasan kelompok massa dan tidak ada satupun pelaku kekerasan yang diadili. Aspek keselamatan kerja merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan baik oleh pekerja maupun perusahaan.
3. Mendesak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta dinas ketenagakerjaan seluruh Indonesia memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan penetapan upah, khususnya di perusahaan media. Pemerintah tidak perlu ragu mengambil tindakan terhadap perusahaan media yang terus mengabaikan hak-hak pekerja media.
4. Mendorong pekerja media untuk membentuk serikat pekerja. Sudah waktunya untuk mengakhiri praktik perusahaan media yang menekan dan menghalangi pembentukan dan aktivitas serikat pekerja. Melalui serikat pekerjalah para pekerja mempunyai posisi tawar dalam setiap negosiasi atau permasalahan ketenagakerjaan yang mereka hadapi. Pembentukan serikat pekerja juga dapat diwujudkan melalui sindikasi dengan media lain (cross media unions), sebagai alternatif jika resistensi perusahaan sangat kuat.
5. Menolak Gerakan Nasional Pemagangan yang dicanangkan pemerintahan Jokowi karena merupakan praktik eksploitasi pekerja dengan dalih pengalaman kerja. Artinya, peserta hanya mendapat uang transportasi dan uang makan padahal tugas yang diberikan kepada peserta magang sama dengan pekerja lainnya. Praktik ini tentu saja menguntungkan pengusaha karena dapat mengurangi biaya produksi dan merugikan peserta magang yang biasanya merupakan siswa sekolah menengah kejuruan dan mahasiswa.
6. Mendesak pemerintah mewajibkan seluruh perguruan tinggi untuk menyediakan materi pengajaran hubungan kerja dalam kurikulum perguruan tinggi agar mahasiswa juga memiliki pemahaman tentang ketenagakerjaan sebelum terjun ke industri. Dengan memberikan materi edukasi tentang hubungan kerja, calon pekerja akan memahami hak-haknya ketika kelak bekerja.
—Rappler.com