Uji materi UU Lingkungan Hidup mengancam kearifan lokal
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Upaya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengusulkan adanya judicial review (Peninjauan kembali) UU No 32 Tahun 2009 re Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mendapat kritik dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan upaya korporasi yang menuduh masyarakat adat sebagai penyebab kebakaran hutan merupakan tindakan melalaikan tanggung jawab. Larangan pembukaan lahan dengan cara tradisional sangat berbahaya bagi masyarakat adat yang sebagai petani atau penggarap menggantungkan penghidupannya pada lahan tersebut.
Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO 111 tentang perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan, baik pekerjaan formal maupun informal, termasuk perlindungan terhadap pekerjaan tradisional seperti petani, nelayan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pelarangan pembukaan lahan secara adat bagi masyarakat adat merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan pelanggaran konstitusi, kata Rukka dalam keterangannya kepada media, Senin 29 Mei 2017.
Permohonan pengujian substantif yang diajukan GAPKI dan APHI ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan berbagai pasal dalam UU 32 Tahun 2009 yang dinilai pemohon bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pasal yang diusulkan untuk diuji adalah Pasal 69 ayat (2) UU PPLH tentang pengecualian bagi masyarakat adat untuk membuka lahan dengan cara membakar.
Menurut AMAN, prinsip perlindungan masyarakat adat melalui pembukaan lahan adat diakui dalam konstitusi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang karena mereka masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pengakuan di atas selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945: “Identitas kebudayaan dan hak-hak masyarakat adat dihormati sesuai dengan perkembangan zaman.” Oleh karena itu, pembukaan lahan dengan cara pembakaran bagi masyarakat adat merupakan pelaksanaan hak tradisionalnya sebagaimana diatur dalam konstitusi.
(BA: Bila pembakaran tanah dianggap kearifan lokal)
Menurut AMAN, maksud dibentuknya UU PPLH terlihat dari berita acara sidang pembahasan rencana UU No.32 Tahun 2009 tanggal 30 Agustus 2009. Urgensi untuk memasukkan pasal pengecualian terkait larangan pembukaan lahan dengan cara dibakar, karena pembuat UU mengetahui dan memahami fakta bahwa masyarakat adat mempunyai kearifan lokal dengan membakar lahan untuk membuka lahan untuk membersihkan ketika tiba waktunya untuk bercocok tanam.
Saat itu, para pembuat undang-undang memperdebatkan kemungkinan kriminalisasi yang akan dialami masyarakat adat di masa depan jika tidak ada pasal pengecualian bagi masyarakat adat yang masih menggunakan cara tradisional dengan membakar lahan untuk mulai bertani, yang merupakan hak tradisional dan telah diakui oleh konstitusi, Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.
AMAN berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil langkah nyata untuk mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. AMAN meminta aparat penegak hukum menindak tegas korporasi yang jelas-jelas melanggar UU PPLH. “AMAN juga mendesak Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas terakhir pelindung konstitusi untuk menolak permohonan uji materi yang diajukan APHI dan GAPKI,” kata Rukka.
Sidang pertama pun digelar
Pada tanggal 29 Mei 2017, Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan agenda pemeriksaan pendahuluan berdasarkan surat gugatan GAPKI dan APHI yang terdaftar dengan Nomor 25/PUU-XV/2017. Sidang berlangsung sekitar satu jam dan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan-LP Sitompul, I Gede Palguna dan Suhartoyo.
Kedua asosiasi pengusaha ini diwakili oleh penasihat hukum Refly Harun. “Tujuan kami agar Yang Mulia menghapuskan pasal tersebut, sehingga tidak ada lagi tempat terjadinya kebakaran hutan, baik bagi pemegang konsesi maupun masyarakat yang berada di wilayah konsesi,” kata Refly saat menyampaikan gugatannya, Senin, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. 29 Mei 2017. Refly Harun merupakan ahli hukum tata usaha negara yang juga menjabat komisaris utama BUMN Jasa Marga.
Menurut Refly, kebakaran sering kali meluas hingga ke konsesi dan merugikan serta tidak adil bagi pemohon karena harus bertanggung jawab. Refly pun mempertanyakan penerapan pasal tersebut Tanggung jawab yang ketat (tanggung jawab mutlak) yang dianggap tidak jelas. “Intinya kalau pemohon lalai, pemohon yang bertanggung jawab, tapi kalau bukan pemohon, tidak perlu bertanggung jawab,” ujarnya.
Hakim Konstitusi memberikan pendapatnya secara bergantian setelah mendengarkan penjelasan Pemohon. Hakim menggarisbawahi pasal tersebut Tanggung jawab yang ketat dan kearifan lokal.
“Sebagai Tanggung jawab yang ketat hal ini diterima secara universal dan dapat diterapkan dalam hukum lingkungan hidup. Aturan ini dianggap ‘kanon’ dianggap remeh diterima,” kata Hakim Palguna. Hakim Suhartoyo mengatakan, prinsip Tanggung jawab yang ketat telah menjadi ciri khusus dalam perkara hukum lingkungan hidup dan kehutanan, berbeda dengan perkara hukum lainnya.
Suhartoyo menegaskan penegakan hukum lingkungan hidup merupakan hal yang mendesak. “Lingkungan benar-benar merupakan jantung dan paru-paru masyarakat kita,” katanya. Suhartoyo menilai pengajuan gugatan yang dilakukan asosiasi korporasi ini sudah benar-benar bergeser dari semangat tersebut.
Juri meminta Refly membuktikan di mana kelemahannya Tanggung jawab yang ketat hingga pasal ini dianggap telah direvisi dan tidak dapat diterapkan di Indonesia.
Terkait Pasal 69 ayat (2) yang mengatur kearifan lokal, hakim meminta Refly merumuskan jalan tengah. Menurutnya, masyarakat setempat tidak bisa menerima perlakuan sembarangan. Masyarakat lokal harus diberi ruang, karena UUD 1945 mengharuskan pemerintah juga harus melindungi hukum adat.
Hakim Mahkamah Konstitusi meminta agar dalil dan tanggapan pemohon disampaikan paling lambat tanggal 9 Juni 2017 pukul 10.00 WIB.
Refly mengatakan banyak perusahaan yang mengalami kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan. Bahkan bangkrut. Sehubungan dengan kedudukan hukum (status resmi), Refly mengatakan pihaknya mewakili APHI dan GAPKI, karena memiliki kepentingan yang sama. “Tidak spesifik perusahaan mana. Mereka semua mempunyai kepentingan yang sama.”
Kepala Departemen Penataan Ruang GAPKI Eddy Martono mengatakan, permohonan penghapusan pasal 69 ayat (2) bertujuan membantu pemerintah mencegah terjadinya kebakaran hutan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab. Oknum-oknum ini akan memanfaatkan pasal ini dengan berkedok masyarakat adat, kata Eddy Martono melalui pesan singkat, Selasa, 30 Mei 2017.
Menurut Eddy, solusinya adalah: “Bagi masyarakat adat sejati, perusahaan akan mendorong masyarakat adat di sekitar perkebunan untuk membuka lahan tanpa membakar. “Perusahaan sebenarnya melakukan hal tersebut dengan program ‘desa bebas api’.”
Presiden Jokowi pernah mengungkapkan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan mencapai Rp 220 triliun pada tahun 2015. – Rappler.com