• October 14, 2024
Untuk mencegah kecelakaan pesawat, TNI AU sebaiknya lebih fokus pada perawatan

Untuk mencegah kecelakaan pesawat, TNI AU sebaiknya lebih fokus pada perawatan

Akibat jatuhnya pesawat Super Tucano, pilot bisa mengaktifkan kursi lontar, sedangkan pilot yang duduk di belakang terkubur bersama pesawat.

JAKARTA, Indonesia – Dunia militer Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit ketika sebuah pesawat latih milik TNI AU jatuh di kawasan pemukiman padat penduduk di kota Malang pada Rabu pagi, 10 Februari. Akibat kejadian tersebut, empat orang tewas, termasuk pilot pesawat Mayor PNB Ivy Safatillah dan teknisi helm udara Sersan Mayor Syaiful Arief Rakhman.

Jenazah Mayor PBN Ivy ditemukan terpisah dari pesawat. Ia diketahui tetap bisa mengaktifkan kursi lontar meski parasutnya tidak mengembang. Sedangkan Syaiful ditemukan tewas bersama jasadnya di kokpit pesawat.

Dua korban lainnya adalah warga sipil. Kepala Staf TNI AU Agus Supriatna dalam siaran persnya mengatakan, identitas korban diketahui bernama Erna Wahyuningtyas (47 tahun) dan Nurcholis (27 tahun).

Namun kejadian jatuhnya pesawat TNI AU ini bukan kali pertama terjadi. Berdasarkan catatan Rappler, ada tiga kejadian serupa pada tahun 2015. Bahkan salah satunya jatuh di Langkawi, Malaysia, saat tim aerobatik TNI AU sedang berlatih untuk mengikuti Langkawi International Maritime and Aviation (LIMA).

Lalu apa yang menyebabkan kejadian ini terulang kembali? Menurut pengamat militer dan pertahanan Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, hingga saat ini, jika ada pesawat militer yang jatuh, biasanya pilot atau cuaca menjadi sasarannya. Padahal, hal tersebut lebih disebabkan oleh proses perawatan dan pemeliharaan yang kurang teliti.

“Tolong hitung berapa banyak pesawat militer yang jatuh. Peluncuran Hercules, Jupiter, Super Tucano dan beberapa peristiwa lainnya yang tidak diumumkan oleh TNI AU. Bahkan, dalam beberapa kejadian pesawat yang jatuh itu tergolong pesawat baru, kata Connie saat dihubungi Rappler, Jumat, 12 Februari.

Terkait kasus jatuhnya pesawat super Tucano, Connie mengaku geram atas pernyataan beberapa pejabat pemerintah yang memilih menunggu hasil penyelidikan. perekam penerbangan untuk mengetahui penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Bahkan, TNI AU berencana melibatkan pabrikan Super Tucano asal Brazil dalam proses penyelidikan.

Menurut Connie, ada baiknya TNI AU terlebih dahulu melakukan pemeriksaan internal sebelum melibatkan pihak asing, terutama dalam hal perawatan dan pemeliharaan.

“Di dunia penerbangan sudah dikenal pemeliharaan dilakukan dan dicatat secara berkala. “Pengobatannya terdiri dari dua kelompok, yaitu preventif dan korektif,” jelas istri purnawirawan jenderal ini.

Pemeliharaan preventif dilakukan ketika suatu komponen mendekati batas penggantian. Ada pula komponen yang harus segera diganti jika ditemukan rusak. Sedangkan perawatan korektif dilakukan jika komponen pesawat mengalami kerusakan secara tiba-tiba.

“Pesawat juga memiliki interval perawatan dan waktu perawatan untuk setiap komponen pesawat. Setiap pesawat udara diperiksa maka akan dicatat secara tertulis catatan. Jadi kalau ada kejadian kecelakaan pesawat, tonton saja catatan itu,” kata Connie.

Dijelaskannya, proses perawatan dan pemeliharaan selama berada di lapangan menjadi tanggung jawab Komandan Jalur Pendaratan (Danlanud), Komandan Skuadron (Danskuadron), dan Komandan Sayap (Danwing). Seharusnya merekalah yang bersuara ketika terjadi kecelakaan pesawat militer.

Connie menduga kuat jatuhnya pesawat Super Tucano itu ada kaitannya dengan faktor perawatan, karena pilot mampu mengaktifkan kursi lontar, sedangkan pilot yang duduk di belakang juga ikut terkubur bersama pesawat.

“Itu berarti sabuk pengaman dan penataan kursi lontar untuk penumpang belakang kurang tepat. Artinya ini kembali ke masalah pemeliharaan. Jadi timbul tanda tanya besar, apa saja tahapannya pemeliharaan “Sejauh ini pelaksanaannya sudah sesuai ketentuan atau belum,” jelasnya.

Bagaimana dengan kemungkinan kesalahan yang dilakukan produsen pesawat? Connie meragukan hal tersebut, sebab sebelum pesawat tersebut dijual, studi kelayakan sudah dilakukan oleh pihak pabrikan.

Hasil studi kelayakan juga menjadi dasar bagi Indonesia untuk membeli alutsista, kata Connie.

Hal ini sesuai prosedur

Komandan Lanud Abdulrachman Saleh Malang Marsekal TNI Djoko Senaputro menampik adanya faktor perawatan dan pemeliharaan yang diabaikan. Sejak awal ditempatkan di Skuadron 21, ke-12 pesawat Super Tucano tersebut telah mendapat perawatan dan perawatan rutin. uji terbang sesuai jam terbang.

“Semua pengobatan sesuai prosedur,” kata Djoko, Senin, 15 Februari.

Djoko memilih tak berspekulasi dan menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan tim khusus di bawah Unit Pelayanan Keselamatan Kerja dan Udara TNI AU. Beberapa temuan seperti perekam penerbangan, pemancar pencari lokasi darurat (ELT) diharapkan dapat memberikan petunjuk penyebab pesawat latih yang tiba di Indonesia pada tahun 2012 itu jatuh.

Djoko mengatakan, perlu waktu lama untuk mengetahui hasil penyidikan. Bahkan, dia mengisyaratkan butuh waktu lebih dari 10 bulan untuk mendapatkan hasil yang valid. Pihaknya juga tidak menjamin hasil investigasi akan dipublikasikan.

Menurut Komandan Sayap 2 Kolonel Penerbangan M Arifin, salah satu pertimbangannya adalah tidak diungkapkannya hasil penyelidikan tersebut kepada publik karena khawatir akan berdampak pada pabrik pembuatan pesawat.

Kapuspen TNI AU, Marsma Dwi Badarmanto mengatakan, proses penyelidikan terhadap catatan penerbangan Super Tucano masih berlangsung. TNI AU melakukan penyelidikan 5m yaitu manusia, media, mesin, metode dan manajemen.

“Tidak satu pun dari insiden ini yang diinginkan. “Tentunya setelah terjadi kejadian, kami langsung melakukan evaluasi,” kata Dwi yang dihubungi melalui telepon. – dengan pelaporan oleh Dyah Pitaloka/Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sydney