Upaya mengembalikan harkat dan martabat Komnas HAM
- keren989
- 0
Calon komisaris ada yang berpandangan progresif, namun banyak pula yang kontroversial.
JAKARTA, Indonesia – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tengah melakukan pemilihan komisioner periode 2017-2022. Saat ini, sebanyak 60 orang baru saja selesai mengikuti seleksi tahap kedua yang akan mengurangi jumlah mereka menjadi 28 orang.
Pilihan tersebut menjadi sorotan banyak orang karena kehadiran sosok mengejutkan seperti Zainal Abidin Petir, Ketua Departemen Advokasi Front Pembela Islam (FPI). Namun, kandidat lain juga cukup kontroversial dalam pandangan dan pemahaman mereka tentang hak asasi manusia.
Pada diskusi panel hari pertama, calon komisioner bernama Welya Safitri menjelaskan secara rinci bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Sehubungan dengan pasal penodaan agama juga disebutkan bahwa ‘orang yang tidak menganut suatu agama tidak boleh membicarakan agama itu.’ Ada pula calon lainnya, Achmad Romsan, yang mengatakan kekerasan seksual terhadap buruh migran terjadi karena cara berpakaian buruh migran.
Soal kontroversi dan kritik masyarakat, Ketua Tim Panitia Seleksi (Pansel) Jimly Ashiddique tak ambil pusing. Langkah menjadi komisaris tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Ada lambung kapal “Kami juga melihat rekam jejaknya, setelah ini jalan masih panjang,” ujarnya. Ia bahkan memuji banyaknya kritik masyarakat justru berdampak positif karena berarti mereka peduli.
Meski beberapa nama tampak mengkhawatirkan, tak sedikit juga yang berpandangan progresif. Misalnya saja Ketua KontraS Haris Azhar yang bersuara menentang pemerintah terkait isu kemanusiaan. Begitu pula dengan aktivis Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam, penulis FX Rudi Gunawan, serta mantan aktivis HRWG dan Amnesty International Rafendi Djamin.
Hal serupa juga diungkapkan oleh salah satu kandidat mengenai pentingnya mengakui kelompok agama minoritas oleh negara.
“Mengapa ratusan agama asli tidak diakui, padahal 6 agama yang berasal dari luar negeri diakui secara resmi? “Itu cara berpikir yang salah dan tidak adil,” kata kandidat tersebut.
Bahkan, sejumlah calon pekerja juga ikut mengikuti seleksi, seperti Hafidz Abbas, Siti Noor Laila, Roichatul Aswidah, dan Imdadun Rahmat. Namun sejumlah kritik dilontarkan kepada mereka berdasarkan evaluasi kinerja pada periode sebelumnya.
Dikelilingi oleh masalah
Pertama, mereka terjangkit indikasi korupsi berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (FCA) pada 24 Mei 2016. Temuan LHP FCA tentang Kepatuhan terhadap UU Komnas HAM tahun 2015 mencatat ada 8 kejanggalan. inklusif:
- Realisasi belanja barang dan jasa yang terindikasi fiktif sekitar Rp 820,25 juta. Terdapat 671 alat bukti berupa nota/kwitansi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
- Sewa rumah dinas komisaris Rp330 juta tidak sesuai ketentuan;
- Pembayaran uang jajan di kantor yang tidak sesuai ketentuan – seperti peraturan menteri keuangan – sebesar Rp 2,17 miliar;
- Tidak ada bukti tanggung jawab sebesar Rp 87,35 juta dalam perolehan jasa konsultasi pengembangan aplikasi pengaduan online. Komnas HAM tidak bisa memanfaatkan aplikasi yang menelan biaya Rp273,87 juta;
- Terdapat pembayaran honor tim pelaksana kegiatan Komnas HAM tanpa bukti pertanggungjawaban sebesar Rp925,78 juta, dan biaya honor lainnya sebesar Rp6,01 miliar yang tidak sepenuhnya sesuai ketentuan berlaku.
- Pelaksanaan pekerjaan memperoleh langganan Internet dan pembayaran biaya layanan di kantor Komnas HAM Hayam Wuruk yang tidak memenuhi ketentuan sebesar Rp3,38 miliar;
- Terdapat ketentuan standar biaya yang digunakan oleh Komnas Perempuan belum mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan, mekanisme pelaksanaan dan pelaporan hibah langsung dari lembaga donor dilakukan melalui persetujuan. BUN/Penguasa BUN (Bendahara Umum Negara);
- Terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak (NPT) yang berasal dari penerimaan jasa giro yang belum diperhitungkan oleh bank.
Hingga saat ini, belum ada upaya signifikan untuk mengatasi permasalahan kelembagaan Komnas HAM, kata Direktur YLBHI Asfinawati dalam kontak terpisah.
Kinerja mereka pun disebut-sebut buruk karena berkas perkara bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sehingga tidak ada tindak lanjut proses penyidikan. Persoalan ini tidak lagi semata-mata bersifat hukum, namun merupakan kemauan politik semua pihak – termasuk dalam hal ini Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan Presiden.
Ia melihat ada upaya berbagai komisioner untuk mendorong Komnas HAM bertindak sebagai komisi rekonsiliasi yang terlihat dari pernyataan di media massa dan sejumlah pertemuan. Setidaknya ada tiga komisioner yang terlibat aktif dalam pertemuan dengan Jaksa Agung, Menko Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Kapolri, perwakilan TNI, Kepala BIN, hingga memproses kasus-kasus yang lepas, hingga membahas pelanggaran hak asasi manusia yang serius melalui rekonsiliasi.
“Upaya ini jelas bertentangan dengan amanat, fungsi, dan tugas Komnas HAM. Tindakan Komisioner Komnas HAM telah merusak supremasi hukum, melanggengkan impunitas, dan melukai perjuangan para korban yang sudah bertahun-tahun menuntut proses hukum, ujarnya.
Begitu pula dengan terobosan pembentukan pelapor khusus yang belum berjalan maksimal. Kenyataannya, pelapor yang ditunjuk tidak bisa menyelesaikan kasus yang masuk dan cenderung tidak ditindaklanjuti. Meskipun masyarakat sipil menilai Pelapor Khusus sudah cukup baik secara konsep, namun dalam praktiknya harus dimaksimalkan lagi. Seperti mekanisme pemilu, serta proses pembentukan dan kekuatan hukumnya.
Meski ada bibit-bibit revolusioner yang muncul melalui sesi diskusi, namun pilihan akhir ada di tangan DPR dan presiden. Jika pada akhirnya kepentingan politik didahulukan dan tidak didasari pertimbangan HAM, maka tak heran jika Komnas HAM kembali dibanjiri kritik seperti periode sebelumnya. – Rappler.com