Upaya untuk menghentikan daur ulang masih belum jelas
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Sikap gubernur dan wakil gubernur terpilih Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno terhadap reklamasi Teluk Jakarta sangat berbeda dengan para pendahulunya. Keduanya tak akan melanjutkan pembuatan 17 pulau palsu tersebut saat menjadi gubernur.
Janji untuk menghentikan daur ulang terus disuarakan selama masa kampanye. Bahkan, keduanya bekerja sama dengan aktivis antidaur ulang Marco Kusumawidjaja di tim penasihat ahli dan kini di tim sinkronisasi.
Saat ini, Marco mengatakan dirinya dan 7 anggota tim lainnya masih mengkaji berbagai hal terkait rencana penghentian proyek tersebut. “Kami mengumpulkan masukan dari masyarakat dan kami tampung. Dan kita belum bisa mengambil keputusan, orang belum menjabat, katanya, Rabu, 17 Mei 2017, di Jakarta.
Masukan-masukan tersebut berkaitan dengan landasan hukum pembatalan dan pemanfaatan pulau-pulau yang sudah terbentuk. Langkah-langkah tersebut disiapkan agar ketika Aniies-Sandi resmi menjabat, kebijakan bisa segera diterapkan.
Rencananya mereka akan mengkaji Keputusan Presiden nomor 52/1995 tentang daur ulang yang menjadi dasar kelanjutan proyek tersebut. Marco mengatakan, banyak peraturan baru yang diterbitkan setelahnya yang bertentangan dengan peraturan tersebut.
“Kami terbiasa dengan keputusan presiden, (proyek) ke depan. Padahal tidak demikian,” ujarnya. Namun, untuk penerbitan izin lingkungan dan pembangunan yang menjadi kewenangan gubernur dipastikan tidak akan diterbitkan.
Mereka juga mempertimbangkan kasus-kasus yang saat ini masih menunggu proses di pengadilan, seperti sengketa perizinan Pulau F, I, dan K. Meski Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan permohonan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang membatalkan izin yang dinyatakan, namun pemerintah provinsi dan pengembang mengajukan banding.
Marco mengatakan, tidak menutup kemungkinan jika Anies-Sandi bertindak, maka banding akan dicabut. Oleh karena itu, proses hukum tidak akan dilanjutkan dan pulau-pulau tersebut tetap tidak dapat dikembangkan.
Sementara untuk pemanfaatan lahan pulau terbangun, Anies-Sandi tidak akan merusaknya. Karena dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar maka mereka memutuskan untuk memanfaatkannya untuk kepentingan umum.
Beberapa usulan yang diterima antara lain perumahan bagi nelayan, pantai rekreasi umum dan lain-lain. Namun hal tersebut terhambat karena pulau-pulau tersebut dibangun oleh pengembang dan berada di bawah kewenangan mereka.
Tim sinkronisasi dan pemerintah provinsi baru akan mengupayakan komunikasi dengan pengembang mengenai masalah ini. Namun, menurutnya hal itu sebenarnya tidak perlu karena pulau-pulau tersebut banyak melanggar peraturan perundang-undangan.
“Seolah-olah itu barang haram, bisa kita sita,” ujarnya. Jika pengembang menuntut, alasan ini juga akan disebutkan.
Ia pun membantah semua alasan yang disampaikan pemerintah provinsi tentang pentingnya reklamasi, seperti penambahan lahan karena jumlah penduduk yang terus bertambah. Menurutnya, hal tersebut bukanlah solusi optimal.
Reklamasi memang menambah luas daratan, namun mengurangi luas lautan. Belum lagi dampak lingkungan seperti sedimentasi, pencemaran air laut, dan lain-lain.
“Di dalam dibicarakan harusnya ada lantai lagi, kalau horizontal kita bicara hutan tapi kalau kota kita bicara lantai,” ujarnya. Marco lalu mencontohkan Singapura mempunyai luas bangunan yang 6 kali luas pulaunya.
Jakarta, lanjutnya, jauh lebih kecil dimana jumlah lantai yang dibangun hanya 2 kali lipat luasnya. “Kita perlu menambah lantai, bukan tanah,” katanya.
Perlawanan belum berakhir. Tak hanya pengembang, mereka masih berhubungan dengan pemerintah pusat seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenkomaritim) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kedua badan ini menyiratkan bahwa proyek harus dilanjutkan.
Hingga saat ini, baik tim sinkronisasi maupun Anies-Sandi belum berkomunikasi dengan keduanya. “Menunggu pelantikan. “Kalau belum menduduki jabatan apa pun, itu juga tidak etis,” kata Marco.
Tim sinkronisasi tidak berusaha melakukan pendekatan untuk menyatukan pandangan dengan kedua badan tersebut.
Pada akhirnya, dia menegaskan Anies-Sandi sangat berkomitmen untuk menghentikan daur ulang, demi memenuhi janji kampanye dan harapan masyarakat yang memilihnya. Namun, belum ada langkah pasti yang bisa diambil masyarakat karena semua opsi masih terbuka selama keduanya belum menjabat.
Iklim investasi membingungkan
Danan Girindrawardana, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menilai janji Anies-Sandi untuk membatalkan daur ulang telah membingungkan investor. Perbedaan sikap keduanya dengan pemerintahan sebelumnya dan pemerintah pusat menyiratkan adanya konflik internal.
“Konflik internal dan korban dunia usaha. “Kita merasa tidak aman, tidak terlindungi oleh negara, karena pemerintah sibuk dengan urusan konfliknya sendiri,” ujarnya terpisah. Kondisi ini, lanjutnya, membuat pengusaha asing mengejek Indonesia dan tidak mengapresiasi dunia usaha Tanah Air.
Berkaca dari hal tersebut, investor menunggu kebijakan yang memperjelas posisi pemerintah. Jika ternyata tidak menguntungkan, bukan tidak mungkin mereka akhirnya hengkang.
Dunia usaha, lanjutnya, melakukan investasi jauh lebih lama dibandingkan masa jabatan seorang gubernur. Jika setiap ada pergantian pemerintahan maka kebijakannya pun berubah, maka hal ini akan membahayakan bisnis mereka.
“Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. “Jadi pemerintah tidak bisa membuat kebijakan baru di setiap tingkatan, itu berbahaya,” ujarnya. Apalagi mengingat pihak pengembang pulau daur ulang tersebut telah menggelontorkan dana dalam jumlah besar, dan tentunya tidak akan tinggal diam jika tiba-tiba batal.
“Kalau dihentikan, saya yakin investor di sana akan melakukan perlawanan hukum. “Saya yakin karena saat itu mereka sudah mendapat poin izinnya,” kata Danang. Jika poin-poin tersebut tidak terpenuhi, pengembang bisa meminta waktu penyelesaian izin, bukan penghentian.
Danang menjelaskan, pengembang secara hukum berhak menggugat karena menunjukkan sistem ketatanegaraan tidak tepat. Termasuk jika revisi Perpres No. 52/1995 untuk diberikan di kemudian hari.
Penerbitan peraturan baru tidak serta merta berlaku surut. “Keputusan presiden baru yang baru saja diambil hendaknya tidak berdampak pada kejadian di masa lalu,” ujarnya.
Peraturan ini akan menjadi tolok ukur perizinan saat ini dan masa depan. Oleh karena itu Danang mengusulkan agar pemprov baru mengambil langkah perundingan, bukan penghentian.
“Mengakhiri secara keseluruhan adalah tentang membunuh seekor lalat dengan bom atom,” katanya.
Kasus reklamasi Teluk Jakarta, Teluk Benoa, dan Kendeng Semen memang memberi warna tersendiri bagi iklim investasi di Indonesia. Ketidakpastian hukum yang timbul dari perselisihan ini juga menimbulkan pertanyaan investor mengenai janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk memperbaiki posisi Indonesia dalam hal kemudahan berinvestasi. —Rappler.com