
Usia minimal bagi wanita yang sudah menikah adalah 18 tahun
keren989
- 0
CIREBON, Indonesia — Pernikahan anak menjadi salah satu topik yang ‘hangat’ diperbincangkan Kongres Ulama Wanita Indonesia (KUPI) Tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal 25 – 27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamiy Babakan Ciwaringin Cirebon.
Sebab hingga saat ini angka perkawinan anak masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari Survei Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Masyarakat (CWSMS) yang dilakukan oleh yayasan PEKKA dan SMERU pada tahun 2011—2012. Mereka menemukan tak kurang dari 6.211 kasus.
Kasus perkawinan anak ditemukan di 111 desa yang tersebar di 20 provinsi. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2016 mengungkapkan bahwa satu dari empat perempuan Indonesia menikah sebelum mencapai usia 18 tahun.
Menyikapi permasalahan tersebut, KUPI 2017 mengeluarkan Hasil Musyawarah Keagamaan yang menyatakan “Perkawinan anak terbukti membawa kerugian, oleh karena itu pencegahan perkawinan anak adalah wajib”.
Fatwa tersebut juga ditindaklanjuti dengan sejumlah rekomendasi kepada pihak terkait. Salah satunya adalah perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tentang batas minimal seorang perempuan menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, pemerintah akan mengkaji rekomendasi tersebut dan merevisinya. Ia juga berjanji akan berkomunikasi dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembisa yang memiliki kewenangan lebih terhadap perkawinan anak.
Lukman mengatakan, rekomendasi KUPI akan dibawa ke pemerintah. Tidak menutup kemungkinan, kata Lukman, pemerintah akan melakukan hal tersebut tinjauan legislatif mengubah usia minimal perempuan menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Langkah itu diambil setelah upaya Peninjauan kembali ditolak oleh hakim Mahkamah Konstitusi.
“Karena sudah masuk Peninjauan kembali, maka tidak dapat ditingkatkan lagi (batas usia minimal). “Karena pemerintah juga berhak melakukan peninjauan, maka rekomendasi kongres ini (kepada pemerintah) akan saya coba bawa,” kata Lukman pada Penutupan KUPI 2017, Kamis 27 April 2017.
Sementara itu, Pengurus Pengarah KUPI 2017 Badriyah Fayumi mengatakan persoalan perkawinan anak belum bisa diselesaikan karena banyak faktor penyebabnya. “Ada faktor ekonomi, budaya, pandangan agama, masalah akses pendidikan,” kata Badriyah.
Dijelaskannya, rekomendasi yang diajukan KUPI 2017 tentang perkawinan anak tidak hanya berdasarkan pandangan agama saja, namun juga berdasarkan fakta bahwa perkawinan anak banyak menimbulkan kerugian.
Di bidang kesehatan, kata Badriyah, perkawinan anak dapat berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak. Pentingnya perkawinan anak juga berkontribusi terhadap peningkatan angka kematian ibu (MMR) saat melahirkan dan nifas, angka kematian bayi baru lahir, dan anemia pada ibu saat hamil.
Dalam konteks pendidikan, sebagian besar anak perempuan yang sudah menikah tidak melanjutkan pendidikannya, apalagi mereka yang langsung hamil karena harus melahirkan, menyusui dan mengasuhnya.
Sementara dari segi sosial, perkawinan anak sangat rentan menimbulkan perceraian. Lebih dari 50% perkawinan anak berakhir dengan perceraian sebelum mencapai satu tahun pernikahan, dan juga rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual. Dan dari segi politik, perkawinan anak pada dasarnya merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara alami.
Sebab, diperlukan peran negara untuk mengeluarkan peraturan yang dapat mengurangi dampak buruk perkawinan anak, salah satunya dengan menaikkan usia minimal menikah. “Dari segi yurisprudensi, tindakan pemerintah membatasi usia menikah juga mempunyai legitimasi,” ujarnya.
Kekerasan seksual dan perusakan lingkungan
Selain perkawinan anak, KUPI juga menghasilkan dua hasil musyawarah agama lain yang haram, yakni terkait kekerasan seksual dan perusakan lingkungan.
Terkait persoalan kekerasan seksual, hasil musyawarah agama KUPI menyatakan: Kekerasan seksual dalam segala bentuknya haram, baik di luar nikah maupun di dalam nikah, karena melanggar hak asasi manusia yang dijamin Islam dan negara.
Sementara di bidang lingkungan hidup, tim perumus KUPI mengeluarkan hasil Musyawarah Keagamaan yang menyatakan: “Menghukum pelanggar perusakan alam atas nama pembangunan yang menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi adalah haram.
“Kami juga telah menyampaikan melalui Kongres bahwa alam bukanlah objek untuk dieksploitasi, melainkan merupakan makhluk hidup bersama yang saling berhubungan,” kata Badriyah.
Bukan fatwa, tapi hasil musyawarah
Kongres Ulama Wanita Indonesia awalnya berencana mengeluarkan fatwa agama, namun setelah selesai, istilah fatwa diubah menjadi Hasil Musyawarah Beragama.
“Pada hakikatnya semua pemikiran keagamaan melalui proses tertentu yang bisa disebut dengan fatwa. “Tapi istilahnya bisa berbeda, kami memilih istilah Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia,” bantah Badriyah saat ditanya wartawan.
Meski tidak menggunakan istilah fatwa, Badriyah meyakinkan metodologi yang digunakan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Kita telah membangun proses dan jalinan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah dalam metode keislaman maupun metodologi berpikir yang mempertemukan pandangan Islam dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan,” jelasnya.
Dalam proses perumusannya, tim perumus yang terdiri dari 9 orang ulama perempuan dan laki-laki yang ahli di bidangnya.
Meski mengusung nama ulama perempuan, namun keterlibatan ulama laki-laki dalam merumuskan hasil Konferensi Keagamaan dan sejumlah rekomendasi tetap ada, seperti Pimpinan Pondok Pesantren Arjawinangun Cirebon dan mantan Komisioner Komnas HAM. Kekerasan terhadap Perempuan, KH Husein Muhammad, Prof. Machasin, KH Helmi Ali, dan KH Faqihuddin Abdul Qodir.
“Tetap mencakup ulama laki-laki karena pengertian ulama perempuan juga mencakup ulama laki-laki. Ulama perempuan merupakan ulama yang konsen terhadap persoalan keadilan bagi perempuan. Nah di sana ada ulama laki-laki, jadi (yang dimaksud dengan ulama perempuan) tidak gender.” kata Badriyah.
KUPI 2017 merupakan kongres ulama perempuan pertama di dunia yang diikuti oleh sekitar 500 peserta dari berbagai latar belakang yang diselenggarakan pada tanggal 25 – 27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamiy Cirebon.
Kegiatan ini diprakarsai oleh Rahima, Fahima dan Alimat, organisasi yang peduli terhadap Islam dan hak-hak perempuan. Pesertanya tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga luar negeri seperti Pakistan, Arab Saudi, India, dan Malaysia. Acara ini mendapat respon yang baik dari masyarakat.
Terlihat dari jumlah pendaftar yang mencapai 1275 orang, namun yang diundang karena disesuaikan dengan daya tampung sebanyak 374 peserta dan 185 pengamat. —Rappler.com