#USVote 2016: Amerika di ambang sejarah
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Jutaan warga Amerika akan mengambil keputusan bersejarah yang berdampak di seluruh dunia, yakni siapa yang akan menjadi presiden Amerika Serikat selanjutnya?
Kampanye brutal, memecah belah, dan terkadang alot yang dimulai dua tahun lalu akan berakhir pada Selasa pagi, 8 November waktu AS (Rabu pagi waktu Indonesia) dengan 82 persen warga Negeri Paman Sam menyatakan muak dengan situasi di wilayah mereka yang terpecah belah. negara seperti sekarang. Faktanya, situasi seperti ini tidak pernah terjadi.
Jutaan pemilih dari Maine di timur laut hingga Hawaii di barat telah terdaftar untuk menggunakan hak pilih mereka secara sah. Berdasarkan data sensus pemerintah AS, jumlah pemilih mencapai 225,8 juta orang pada tahun ini. Sementara itu, lebih dari 21 juta warga negara menggunakan haknya sebelum pemilu di setiap negara bagian yang mengizinkan pemilu dini.
Lembaga riset Pew Research menyebut pemilih pada pemilu tahun ini adalah yang paling kontras, di mana setiap 1 dari 3 pemilih berasal dari kelompok minoritas, yakni warga Afrika-Amerika, Asia-Amerika, dan Latin. Mereka akan memilih antara calon presiden dan wakil presiden.
Suara kandidat terbanyak di setiap negara bagian menentukan beberapa anggota perguruan tinggi pemilihan siapa yang akan memilih kandidat tersebut.
Ada 538 anggota perguruan tinggi pemilihan, beberapa di antaranya berdasarkan populasi negara bagian. Jika ingin memenangkan pemilu AS, seorang kandidat harus meraih 270 suara pemilu.
Sistem pemilihan umum di negara bagian ini menyulitkan kandidat ketiga untuk menang. Meskipun hal tersebut masih mempunyai dampak penting pada beberapa hasil negara bagian dan nasional.
Calon
Saat ini terdapat dua calon unggulan dari partai Demokrat dan Republik, yakni Hillary Clinton dan Donald Trump. Keduanya bersaing ketat untuk bisa mencapai Gedung Putih.
Clinton, mantan menteri luar negeri, senator dan mantan ibu negara, kini mendekati akhir pemilu AS. Dia menggunakan pesan persatuan dan keterbukaan dalam kampanyenya.
Sementara Trump, seorang pengusaha dan bintang reality show, belum pernah terjun ke dunia politik sebelumnya. Meski belum punya pengalaman, sejumlah pihak menilai Trump lebih cocok memimpin AS sebagai presiden. Ia menggunakan pendekatan kampanye pemilu presiden dengan kata-kata lantang dan sensasional.
Ada beberapa kandidat lain yang ikut bersaing, terutama mantan Gubernur New Mexico Gary Johnson, dokter Jill Stein, dan mantan agen intelijen CIA Evan McMullin. Namun, hasil jajak pendapat menunjukkan peluang mereka hanya kecil untuk meraih 270 suara elektoral.
Selain pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, warga negara Amerika juga akan menggunakan hak pilihnya terhadap 435 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjabat selama 2 tahun dalam satu periode. Lalu ada 34 dari 100 senator (yang menjabat selama 6 tahun). Mereka juga akan memilih gubernur di 12 negara bagian. Pemilu akan berlangsung dalam berbagai referendum dan pemilu lokal.
Ekonomi, keamanan
Ada beberapa persoalan penting yang harus diselesaikan presiden terpilih AS berikutnya, baik dalam maupun luar negeri. Di Amerika terdapat berbagai permasalahan seperti perlambatan ekonomi dan sulitnya mendapatkan pekerjaan, kesenjangan yang semakin lebar antara masyarakat miskin dan kaya, pajak, ras, kepemilikan senjata, penegakan hukum, imigrasi, kesehatan dan pemusatan kekuasaan di Washington.
Selain permasalahan dalam negeri, presiden terpilih AS juga harus menghadapi ancaman keamanan yang semakin meningkat, krisis pengungsi yang masih berlangsung, perjanjian perdagangan yang tertunda, perubahan iklim, berbagai krisis perang yang masih terjadi di Suriah, Yaman, Irak, dan Afghanistan. Jumlah ini belum termasuk potensi krisis lainnya, termasuk meningkatnya ketegangan di Asia terkait sengketa pertanahan.
Pemimpin Amerika selanjutnya juga harus memasukkan isu dimana sekutu tertua dan terpercaya di kawasan Asia, Filipina, mulai berubah haluan dari Negeri Paman Sam. Kebijakan ini terlihat sejak Rodrigo Duterte menjabat sebagai Presiden Filipina.
Pemilihan yang ketat
Meskipun banyak persoalan yang harus mereka atasi, kampanye pemilihan presiden AS ditandai dengan hasil jajak pendapat yang ketat. Kedua kandidat tidak segan-segan saling mengungkapkan kekurangan masing-masing dan tidak meluangkan waktu untuk menjelaskan visi mereka bagi Amerika di masa depan.
Selama kampanye, Trump selalu melontarkan komentar-komentar kontroversial terhadap berbagai orang atau kelompok. Mulai dari imigran Meksiko yang disebut “pemerkosa” hingga mantan ratu kecantikan Trump yang dijuluki “Miss Piggy”. Pria berusia 71 tahun itu juga menyebut Clinton sebagai “Hillary yang timpang”.
Namun, kontroversi terbesar yang dihadapinya adalah ketika ditanya tentang kegagalannya membayar pajak dan terungkapnya video tahun 2005. Dalam video tersebut, dia terdengar melontarkan komentar-komentar yang menghina perempuan dan melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Alih-alih meminta maaf dengan tulus, Trump malah menyebut semua itu sebagai konspirasi terhadap dirinya. Konspirasi tersebut katanya dipimpin oleh kaum liberal dan media yang “bias”.
Di sisi lain, Clinton berusaha untuk tidak terpengaruh dengan semua komentar Trump. Bahkan, ia tetap konsisten untuk terus menebar tema persatuan, keberagaman, dan keterbukaan. Meski tentu saja komentar negatif tak pernah lepas darinya.
Sejumlah persoalan miring yang dialaminya selama puluhan tahun berpolitik kembali diungkit oleh lawan-lawannya, mulai dari persetujuannya terhadap perang Irak, musibah kedutaan besar AS di Benghazi, skandal surat elektronik, hingga isu perselingkuhan Bill Clinton.
Ketidakamanan
Meski kurang dari 24 jam menjelang hari pemilu, masih banyak ketidakpastian.
Popularitas Clinton terus menurun setelah direktur Biro Investigasi Federal (FBI), James Comey, meminta agar penyelidikan skandal kebocoran email Clinton dilanjutkan. Jajak pendapat semakin ketat, dengan Trump mendapatkan kepercayaan diri setelah jumlah pemilihnya menurun karena sebuah video yang mengomentari pelecehan seksual terhadap perempuan.
Jika Clinton menang, ia akan melanjutkan warisan progresif Barack Obama, termasuk program reformasi asuransi kesehatannya yang kontroversial. Sementara itu, Trump akan menghancurkan semua reformasi. termasuk perjanjian perdagangan bebas. Ia akan memfokuskan anggaran untuk membangun kembali militer AS dan merombak hubungan Paman Sam dengan sekutunya.
Namun, berdasarkan jajak pendapat terbaru, sejauh ini Clinton masih unggul tipis, yaitu 3 hingga 5 poin persentase. Namun, jika dijumlahkan secara keseluruhan, kedua kandidat akan memiliki selisih jumlah yang kecil, terutama karena Trump berhasil memperoleh perolehan suara di negara-negara bagian yang belum menentukan pilihan. – KD Suarez, dengan laporan dari AFP/Rappler.com