Vaksin palsu, mulai dari jalur distribusi hingga bahayanya
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan ditemukannya vaksin palsu yang beredar di 28 fasilitas kesehatan di Tanah Air. Fakta itu terungkap setelah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman pada Selasa, 21 Juni.
Pria dan wanita ini ditangkap di kediaman mereka di sebuah kompleks perumahan Kabupaten Kemang Pratama,Bekasi. Dari penangkapan tersebut, polisi menyita barang bukti berupa 36 kotak atau sekitar 800 ampul vaksin palsu. Hasil penyelidikan mengungkap peredaran vaksin palsu ini sudah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan vaksin palsu? Apa bahayanya dan bagaimana jalur perdagangannya?
Jalur ilegal dan vaksin campur aduk
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, fasilitas kesehatan hanya dapat mengambil vaksin dari jalur resmi. Artinya dari produsen dan distributor vaksin yang terdaftar.
Berbagai nama produser resmi disebutkan Plt. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Bahdar Johan adalah Sanofil dan Biofarma. Sedangkan untuk distributor, menurut dia, tidak semua apotek bisa menyediakan vaksin.
“Ada persyaratan yang harus dipenuhi,” ujarnya. Salah satunya dengan adanya lemari es khusus agar vaksin tidak meleleh saat dibawa ke rumah sakit atau klinik.
Bahdar menjamin semua yang dikeluarkan produsen dan distributor resmi adalah vaksin asli. Lalu bagaimana vaksin palsu bisa beredar di rumah sakit?
Vaksin yang bisa dikatakan palsu adalah vaksin yang sudah tercampur dengan bahan antibiotik lain. Salah satu yang sudah terbukti adalah tuberkulin yang diyakini tercampur dengannya gentamisin; antibiotik yang tidak berpengaruh.
Jika melalui jalur resmi, pasti gagal dalam tes kelayakan. Sehingga, Bahdar membenarkan bahwa vaksin ini banyak beredar melalui jalur ilegal. Seperti toko obat yang tidak bersertifikat di Pasar Pramuka atau Kramat Jati; sampai tidak terdeteksi oleh pemerintah atau pihak berwenang.
“Biasanya karena mereka suka menawarkan harga lebih murah. Mungkin ada selisih hingga Rp 200-500 ribu (dari aslinya). “Kalau (petugas) waras, pasti tidak akan diambil,” ujarnya. Selain itu, adanya permintaan konsumen yang ‘tidak menginginkan vaksin lokal’ atau ‘vaksin tidak wajib’ juga menjadi kesenjangan. pekerja lepas itu operasional.
Selain itu, terdapat juga celah pembuangan limbah (kemasan sisa vaksin) yang tidak sesuai prosedur fasilitas kesehatan. Botol dan kemasan bekas ini bisa ‘didaur ulang’ untuk dijadikan vaksin palsu.
“Tapi kami tidak punya izin ke sana, harus dari Dinas Kesehatan,” ujarnya.
Dari segi kemasan juga terdapat perbedaan. Menurut Bahdar, vaksin Biofarma memiliki tutup karet berwarna abu-abu. Sedangkan keluaran Sanofil dilihat dari masa kadaluarsanya yang 2 tahun sejak produksi.
“Kalau berbeda, konsumen patut curiga,” ujarnya.
Dampak?
Apakah vaksin palsu ini berbahaya bagi masyarakat? Menurut Bahdar, tidak ada ancaman serius terhadap kesehatan anak.
Apakah vaksin palsu berbahaya? pic.twitter.com/pT7iaZhrq9
— Ursula Florene (@kuchuls) 28 Juni 2016
“Karena dosisnya hanya 0,05 miligram maka aman,” ujarnya. Namun, bahaya sebenarnya adalah kepercayaan orang tua.
Imunisasi bertujuan untuk melindungi anak dari ancaman penyakit polio, tetanus, hepatitis dan penyakit berbahaya lainnya. Dengan terungkapnya vaksin palsu ini, para orang tua kembali ragu apakah anaknya benar-benar gratis.
“Apa yang dikira aman ternyata tidak,” ujarnya. Untuk itu, Kementerian Kesehatan menawarkan vaksinasi ulang.
Apalagi, produsen vaksin palsu ini diketahui sudah beroperasi sejak tahun 2003. Berapa juta tubuh anak-anak yang mengalir dengan cairan tak berguna ini dan berpikir mereka aman?
Menteri Kesehatan Nina F. Moeloek tidak memungut biaya apapun selama masa penyuntikan ulang ini. “Kita lihat nanti imunnya ada (vaksinnya) atau tidak. “Kalau tidak ada, kami akan berikan vaksinnya,” ujarnya.
Tim Khusus UU Pengawasan Narkoba
Pasca terungkapnya produsen vaksin palsu, Bareskrim Polri, BPOM, dan Kementerian Kesehatan akhirnya memutuskan untuk membentuk gugus tugas pengawasan obat. Menurut Bahdar, BPOM akan melibatkan produsen dari Biofarma dan Sanofil.
“Karena mereka bisa membedakannya,” ujarnya.
Terpisah, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya mengatakan pertemuan pertama gugus tugas akan berlangsung pada hari Rabu, 29 Juni.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan, penting dibentuk gugus tugas agar ada tindak lanjut atas temuan terkait vaksin palsu.
“Kalau pasokannya kita dorong agar zero out, dihilangkan sama sekali. Satgas nantinya akan bergerak mencari titik-titik yang diduga masyarakat mendapat vaksin ini, kata Linda.
Selain itu, BPOM juga meminta agar kewenangannya terkait pengawasan obat ditingkatkan. Hal itu akan dimasukkan dalam RUU Pengawasan Obat dan Makanan yang diajukan Komite IX DPR kemarin.
“Kami tidak bisa menguping atau melakukan penggerebekan sendiri. Di proses hulu kita tidak bisa. “Itu akan dievaluasi,” katanya. Namun hal tersebut bukan menjadi alasan BPOM untuk membela diri.
Namun mereka gagal memantau peredaran vaksin di rumah sakit dan klinik.-Rappler.com
BACA JUGA: