Wacana rekonsiliasi terhadap pelanggaran HAM bukanlah solusi
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Menurut KontraS, proses rekonsiliasi tidak partisipatif dalam membangun dialog dengan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM agar tuntutan mereka didengar.
JAKARTA, Indonesia—Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) bersama Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) menegaskan, rekonsiliasi tanpa proses hukum bukanlah solusi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Sepanjang pantauan KontraS, rencana rekonsiliasi atau penyelesaian melalui jalur non-yudisial yang diajukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan masih belum jelas.
Wacana ini sudah berlangsung sejak tahun 2005 dan dihidupkan kembali dalam beberapa bulan terakhir oleh Jaksa Agung HM Prasetyo.
“Kami menilai proses ini sangat eksklusif dan tidak partisipatif demi membangun dialog dengan korban dan keluarganya agar tuntutan mereka didengar. “Tidak ada satu pun konsultasi yang dilakukan secara resmi dengan korban, keluarganya, maupun komunitas korban,” kata KontraS dalam keterangan resminya, Sabtu 2 April.
Sementara itu, beberapa pertemuan telah dilakukan antara Dewan Pertimbangan Presiden yang diwakili oleh Sidarto Danusubroto, pegawai lembaga negara, berbagai pakar, dan tiga anggota Komnas HAM.
“Pertemuan demi pertemuan hanya menghasilkan ide untuk simposium. “Sangat disayangkan dan terkutuk jika negara hanya bisa menyelenggarakan simposium untuk menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan yang masif dan meluas,” kata KontraS.
Menurut KontraS, proses yang dilakukan pemerintah cukup lambat dan tidak sensitif terhadap korban.
“Para korban semakin tua, semakin sakit dan semakin rentan. Sementara negara hanya membahas prosesnya tanpa kejelasan dan hanya akan menggelar simposium. Ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan pengingkaran terhadap janji Nawacita.”
KontraS menilai gagasan simposium tidak memenuhi prinsip keadilan bagi korban.
Lebih lanjut, KontraS mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk turun tangan dan segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“(Karena) Kami menilai Presiden Joko Widodo tidak berani menghadapi kenyataan pelanggaran HAM ini dan hanya melemparkannya ke para pembantunya,” kata KontraS.
Lantas apa rekomendasi KontraS untuk Jokowi?
“Pemerintah harus memulai dengan merumuskan kebijakan, menyiapkan struktur gugus tugas dan perangkat kerja, menjamin akses informasi dan melindungi pengungkapan kebenaran.”
KontraS juga meminta agar Komnas HAM ikut mendorong pemerintah menghormati hak korban untuk mendapatkan keadilan.
Proses perkara HAM berat di masa lalu diawali dengan penyidikan oleh Komnas HAM, jika selesai akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan.
Komnas HAM juga sebelumnya membentuk tim ad hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) periode 1997-1998 dan menyimpulkan dalam laporan setebal 301 halaman bahwa tim Mawar paling bertanggung jawab atas penculikan tersebut. puluhan aktivis.
Tim Mawar merupakan tim yang dibentuk di bawah Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV berdasarkan perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu, Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Pada tahun 2006, Komnas HAM juga menyerahkan laporan tersebut ke Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Namun Kejaksaan Agung menolak dengan dalih menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc.
Hingga saat ini, kejaksaan belum pernah melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat.
Belakangan, pemerintah menyatakan sedang mempertimbangkan opsi non-yudisial dengan rekonsiliasi, yakni meminta maaf. Keluarga korban telah menyatakan penolakannya terhadap rencana tersebut. —Rappler.com
BACA JUGA