Wanita sikep menjaga pegunungan Kendeng Utara
- keren989
- 0
PATI, Indonesia – Di salah satu rumah, di sela-sela deretan pemukiman joglo tradisional masyarakat adat Sedulur Sikep di Sukolilo, para perempuan berkumpul untuk menyumbangkan berbagai tanaman herbal dan rempah-rempah dari kebun mereka sendiri. Mereka akan membuatkan makanan untuk brokohan keesokan harinya.
Syukuran adat ini digelar sebagai wujud syukur atas terkabulnya keinginan besar mereka – terhadangnya rencana pembangunan pabrik semen di kawasan karst Tambakromo dan Kayen, dua kecamatan di Pati Selatan. Dua pekan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang memenangkan gugatan perdata atas izin lingkungan pembangunan pabrik semen PT Sahabat Mulia Sakti, anak usaha Indocement.
Sang ibu sebelumnya bergabung dengan saudara Sikep Pati dan Blora, serta petani Rembang dan Grobogan. Mengenakan kebaya hitam, kain jarik, memakai sanggul cepol dan kerudung, mereka berjalan kaki sejauh 122 kilometer dalam misi ‘Mengundang Keadilan’ dari Pati menuju Semarang untuk mendengarkan langsung putusan hakim.
Seperti halnya laki-laki, perempuan Sikep juga tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah karena ajaran Samin melarang anak bersekolah. Namun jika menyangkut persoalan lingkungan hidup, mereka adalah orang-orang yang cerdas dan kritis, jauh dari kesan umum bahwa mereka polos dan polos.
Dua kali mereka terlibat dalam upaya ‘mengusir’ dua pabrik semen yang akan mengeruk bangkai mobil di Pati: Semen Gresik (2009) dan Indocement (2015). Dua perusahaan semen raksasa di Indonesia itu kalah dalam ‘perlombaan bukti’ di pengadilan.
Perempuan sikep dalam komunitas adat
Sukolilo merupakan tempat tinggal terbesar masyarakat adat Sikep, atau sekitar 250 kepala keluarga (lebih dari 900 jiwa). Sisanya tersebar di Blora – daerah asal Samin – dan Kudus.
Masyarakat Sikep sangat menganut paham monogami dengan prinsip Samin siji nhangi sak lawase (satu untuk selamanya) dan tidak bisa bercerai. Selain mendapat kesetiaan penuh, perempuan di masyarakat Sikep juga cukup dihormati terkait keyakinannya tentang ‘ibu pertiwi’ atau ‘tanah air’. Ibu adalah wujud bumi, pemberi, pengasuh, pelindung kehidupan.
Perempuan sikep, seperti perempuan lainnya, juga menjalankan fungsi domestik dalam rumah tangga, mulai dari mengurus rumah, menyediakan makanan, hingga mengasuh dan mendidik anak. Mereka juga membantu suaminya bertani di sawah dan ladang pada musim tanam dan panen.
Namun segala hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat adat Sikep bukanlah monopoli laki-laki. Misalnya, persoalan ancaman terhadap lingkungan juga menjadi urusan para ibu.
“Soal air di Kendeng yang terancam oleh pabrik semen, perempuanlah yang paling berkepentingan. “Dari bangun tidur hingga tidur, kami selalu punya air untuk diminum,” kata Gunarti, perempuan Sikep yang mendirikan Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan “Simbar Wareh”.
“Para ibu tidak bisa hanya menunggu suaminya bertengkar. Jika laki-laki hanya berjuang, biasanya mereka tidak berhasil.”
Simbar Wareh merupakan perkumpulan kolektif sekitar 300 orang perempuan Sikep dan petani biasa di Pati dan sekitarnya untuk menjaga lingkungan dan menjaga keberlangsungan pertanian di wilayah Kendeng. Kegiatan mereka biasanya dipusatkan di Omah Kendeng, sebuah joglo besar yang digunakan untuk kegiatan budaya masyarakat Sikep di Pati.
Perjuangan perempuan Sikep tidak hanya sekedar aksi budaya dalam protes dan long march, namun juga melakukan lobi terhadap pengambil keputusan dan orang-orang penting. Terkait persoalan menjaga Kendeng, mereka bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Hartati, salah satu keturunan sesepuh Sikep, Mbah Suronggono, mengamini bahwa perempuan masyarakat Sikep dilibatkan dalam setiap perjuangan laki-lakinya. Ia mencontohkan, ibu-ibu yang tidak jalan kaki ke Semarang, berdiam diri di rumah dan berpuasa seharian sebagai latihan spiritual untuk menafkahi saudara-saudaranya.
“Tidak hanya perempuan, anak-anak kecil pun ikut berpuasa dan ikut serta dalam perjuangan Sedulur Sikep yang berjalan memperjuangkan haknya,” kata Hartati yang tinggal di Desa Baturejo, Sukolilo.
Bertani adalah kehidupan
Orang Sikep merupakan kelompok masyarakat adat yang mengamalkan perilaku jujur dalam perkataan dan tindakannya. Semua masyarakat Sikep bermata pencaharian sebagai petani, tidak ada yang berdagang, hanya menjadi pegawai, pegawai atau wiraswasta.
Ajaran Samin melarang pengikutnya berdagang, karena menurut mereka bisnis itu penuh dengan ketidakjujuran. Jual beli yang diperbolehkan hanyalah penjualan hasil pertanian yang berasal dari ladang dan peternakan sendiri.
Secara turun temurun pertanian diajarkan kepada anak-anaknya, sehingga masyarakat Sikep akan bergantung sepenuhnya pada alam untuk kehidupannya. Tanah dan lahan pertanian diwariskan kepada anak-anaknya untuk ditinggali dan tidak dapat dijual.
Di setiap rumah masyarakat Sikep, seikat batang padi kering dan gabah selalu ditempelkan pada tiang atau dinding rumah, sebagai simbol pengabdian mereka terhadap alam yang telah memberikan kelangsungan hidup mereka secara turun temurun.
Mereka menganggap bumi sebagai ibu mereka yang baik hati dan senantiasa menghidupi anak-anaknya (manusia) tanpa mengharapkan atau mengambil apa pun dari mereka. Berbeda dengan petani pada umumnya, masyarakat Sikep tidak mengincar hasil panennya.
“Apa pun yang diberikan ibu pertiwi, itulah yang kami terima. Sedikit tidak boleh bersedih, banyak tidak boleh membahagiakan,” kata Gunarti.
Sebagai komunitas petani sejati, masyarakat Sikep mempunyai keterkaitan yang erat dengan alam dan lingkungan. Bagi mereka, alam harus dilestarikan dan dipertahankan jika dirusak oleh manusia.
Oleh karena itu, perempuan Sikep sangat rajin dan mempunyai posisi yang kuat untuk melawan pabrik semen yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan mematikan mata air di pegunungan karst. Perusakan alam juga berarti hancurnya kehidupan masyarakat lokal, yang tidak hanya berdampak pada masyarakat Sikep, namun juga seluruh petani yang menggantungkan hidup pada tanah dan air.
Pendidikan karakter yang pro lingkungan
Anak sikep tidak sekolah. Orang tua sendiri yang harus mendidik dan mendidik anaknya melalui sekolah kehidupan, mulai dari membaca dan menulis aksara Jawa dan Latin, berhitung, bermain gamelan, nembang, memasak, bertani, hingga menanam pohon dan menjaga lingkungan alam sekitar.
Orang sikep melihat ilmu dan keterampilan hidup itulah angka dalam pendidikan, karena yang terpenting adalah belajar membentuk karakter anak yang jujur. Ibu merupakan sosok yang paling berperan dalam mendidik anaknya berperilaku sesuai ajaran Samin: santun, santun, sederhana, tidak materialistis, tidak mencuri, tidak iri hati, penuh kebencian, pendendam, tidak mengambil apa yang bukan haknya – termasuk memungut barang-barang di jalan yang pemiliknya tidak jelas – dan menganggap semua orang sebagai saudara.
“Sekolah formal dan ijazah bagi kami tidak diperlukan karena orang Sikep tidak mengejar cita-cita. Alam telah memberi kita cukup. “Pendidikan yang terpenting adalah kejujuran,” kata Gunarti.
Pendidikan karakter yang diwarisi Samin – tokoh yang diasingkan Belanda ke Digul dan Sawahlunto karena gerakan Samin menolak membayar pajak – berhasil melahirkan generasi jujur. Setidaknya sangat sulit menemukan orang Sikep berperilaku buruk di tengah masyarakat maupun di luar.
“Di desa kami tidak ada orang Sikep yang terlibat kejahatan atau perbuatan tercela. “Meski punya cara berpikir masing-masing, tapi mereka orang baik dan suka membantu orang lain,” kata Nur Subiakto, Kepala Desa Baturejo, Sukolilo.
Para perempuan juga mengajarkan anak-anak mereka tentang lingkungan. Sejak kecil mereka diajarkan untuk menghormati bumi dan air, menanam pohon dan tidak merusak alam. Para ibu meningkatkan kesadaran bahwa merusak alam berarti menghancurkan kehidupan, dan menjaga alam berarti menjaga kehidupan.
Tak heran jika di kalangan masyarakat Sikep pun anak kecil pun sudah paham dengan kontroversi pabrik semen. Banyak di antara mereka yang jalan-jalan ke Semarang bersama orang tuanya.
“Mama, masyarakat jangan menjual tanahnya jika masih ingin hidup. Kalau tanahnya dijual, mereka mau makan apa?” kata Kohar, anak Sikep yang berusia sembilan tahun, kepada ibunya. – Rappler.com
BACA JUGA: