• November 29, 2024
Warga Kampung Nelayan Dadap menolak digusur

Warga Kampung Nelayan Dadap menolak digusur

JAKARTA, Indonesia— Puluhan warga menyebut dirinya Komunitas Nelayan Dadap-Tangerang Bupati Tangerang Ahmed Zaki menolak rencana Iskandar yang akan menggusur tempat tinggal mereka. Mereka menyebut rencana penggusuran tidak sesuai dengan rencana awal yakni penertiban lokalisasi.

Dasar penolakan kami jelas, kami hidup sebagai nelayan, tidak lepas dari pantai dan muara sungai, kata Sujai Ta’lim, 41 tahun, warga Dadap, yang meski tunanetra tetap berprofesi. selaku nelayan, saat menggelar jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin, 2 Mei.

“Ini jalan hidup yang kita pilih, profesi sebagai nelayan, maka keterampilan kita sebagai nelayan akan kita pertahankan,” ujarnya lagi.

Ia menyadari bahwa mereka tinggal di tanah pemerintah, dan tidak memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut maupun Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Tapi kami ini warga negara, kami jelas punya hak lebih dibandingkan aparat,” ujarnya.

Apalagi, ia mengaku membangun rumah dari awal di kawasan tersebut dan kini rumah tersebut dimiliki oleh generasi ketiga.

Dari Muara Karang hingga Muara Dadap

Misbah, tokoh masyarakat setempat menambahkan pernyataan Ta’lim. Ia mengenang sejarah warga yang tinggal di Dadap.

“Pada masa kakek saya tahun 1975, mereka membawa anak cucunya dari Muara Karang ke Muara Dadap karena kami tidak mampu membeli rumah di Kompleks Muara Angke, Jakarta Utara,” ujarnya sambil terisak.

Kemudian mereka diterima di Muara Dadap oleh Kepala Desa Ilham. “Kami menemukan tanah di pinggir sungai, kami membelinya dan kami membayar pajak bumi dan bangunan,” ujarnya.

Selain melaut, mereka juga punya juga mencoba menggarap sawah dan menata sungai setempat. “Kami malah minum air dari sungai (sungai), ini sejarah menyedihkan kami,” kata Misbah disambut teriakan warga lain yang membenarkan pernyataannya.

Lima tahun setelahnya, tepatnya pada 1980, warga ditawari pindah tempat Bandara Internasional Cengkareng (CIA). Penduduk dan CIA menyetujui kompensasi, namun gagal karena perusahaan tidak dapat menemukan tempat tinggal baru bagi mereka.

Pada tahun 1996, muncul rencana untuk menghancurkan daerah tersebut. Namun warga mengadu ke LBH, dan mereka berhasil bertahan.

Hingga hari ini, tepatnya 26 April, mereka kembali terancam diusir. Surat teguran I yang dikeluarkan Bupati Tangerang Zaki Iskandar nomor 301/1081-SPPP menyebutkan, mereka terpaksa membongkar tempat tinggalnya.

Surat tersebut menyebutkan alasan pembongkaran sebagai bagian dari program pengendalian Indonesia Bebas Prostitusi 2019 diluncurkan oleh Kementerian Sosial. (MEMBACA: 99 titik lokasi pengendalian lokalisasi di Indonesia)

Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa warga yang memiliki gedung atau tempat usaha berada pada jarak 5-10 meter ke kanan jalan dan 10-20 meter. di sisi kiri jalan di Kampung Baru Dadap, Distrik Kosambi, mereka harus membongkar sendiri propertinya.

Bukannya langsung mendukung, warga malah kebingungan. Menurut mereka, bangunan di kawasan sekitar sudah hancur sejak dua bulan lalu. Tepatnya, warga dikumpulkan oleh Kepala Desa Dadap pada 14 Maret lalu.

Sosialisasi berkedok pengendalian lokalisasi

Menurut Waisul Kurnia, 33 tahun, warga dikumpulkan Menikah Rumah 9 Bersaudara memberikan sosialisasi mengenai peraturan lokalisasi. Sekitar 117 warga menghadiri pertemuan tersebut.

Sosialisasi tersebut dikawal ketat oleh 550 petugas gabungan dari TNI, Polri, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Warga digeledah satu per satu saat memasuki ruangan. “Ini serupa dengan protokol standar pertemuan dengan presiden,” ujarnya.

Acara dibuka oleh Sekretaris Daerah setempat. “Awalnya soal lokalisasi, lalu semuanya berubah menjadi penggusuran ke pemukiman warga. “Sekda menyampaikan akan dibangun apartemen dan Islamic center untuk warga,” ujarnya.

Waisul kemudian menjawab, “Kenapa harus Islamic center, Pak? Yang kita butuhkan adalah pusat perdagangan ikan untuk para nelayan,” ujarnya. Ia tak habis pikir dengan rencana tersebut.

Mungkin, kata dia, bupati menganggap warga Dadap tidak beragama karena ada lokalisasi di sana. Bahkan, kata dia, warga sudah menerapkan jam malam di wilayah lokalisasi.

Seperti tidak menyalakan musik setelah jam 12 tengah malam, serta tidak bekerja pada Minggu malam dan Kamis malam karena ada pengajian.

“Kami juga mengimbau para mucikari untuk menutup tempat usahanya selama Ramadhan,” kata Waisul.

Intimidasi terhadap pihak berwenang

Usai kejadian, warga mengaku resah karena intimidasi dari aparat mulai terjadi. Misbah mengatakan, seluruh pihak mulai dari Kapolsek, Camat, hingga Kepala Satpol PP mengancam akan mengirimkan pasukan ke kawasan tersebut jika warga tidak mau tertib.

Saefullah, warga lainnya, menjelaskan detail ancaman tersebut. “Pada tanggal 25 April di Masjid Nurul Ummah, Kapolsek menyatakan akan mengerahkan 500 personel. Danrem juga menyinggung pengerahan 700 tentara. Dan Satpol PP juga akan mengerahkan 3.000 tentara, ujarnya.

Warga ketakutan saat mendengar banyaknya petugas. Mereka kemudian membentuk tim 21 di bawah pimpinan Haji Misbah. Tujuannya, untuk mencegah dikeluarkannya Surat Peringatan I. Namun surat itu akhirnya sampai keesokan harinya.

Bagaimana dengan reklamasi Teluk Jakarta?

Selain persoalan lokalisasi, warga menduga penggusuran tempat tinggalnya ada kaitannya dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Misbah mengaku mendapat informasi tersebut dari televisi saat Bupati diperiksa sebagai saksi kasus anggota Fraksi Gerindra DPRD DKI Mohamad Sanusi dalam kasus daur ulang.

Dalam keterangannya, Zaki Iskandar mengungkapkan rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Dadap dengan salah satu pulau reklamasi di pesisir utara Jakarta.

Ia bahkan mengaku menyetujui usulan pembangunan tersebut. Namun masih belum ada kesepakatan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Perkampungan nelayan Dadap ini berhadapan langsung dengan wilayah pengembangan Pulau A, B, dan C.

Lalu bagaimana tanggapan Bupati atas tudingan tersebut?

Kepada Rappler Ursula Florene, Bupati Zaki membantah semua tudingan masyarakat nelayan Dadap. “mashallah, untuk pembongkaran lokalisasi dan penataan kawasan Dadap. Kenapa persoalannya kesana kemari?” ujarnya.

Ia juga tidak terima jika Surat Peringatan I dikaitkan dengan proyek daur ulang. “Tidak ada hubungannya dengan daur ulang,” ujarnya lagi.

Menurut dia, kampung nelayan Dadap merupakan tanah pemerintah dan PT Angkasa Pura II statusnya mirip dengan Sungai Ciliwung di Kampung Pulo. Ia bahkan menuding warga termakan isu-isu negatif.

Terkait warga terdampak penggusuran, Bupati Zaki pun mengaku sudah menyiapkan uang sewa gratis yang cukup bagi warga hingga 1,5 tahun ke depan. Tempat persewaannya tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

“Sebenarnya mereka yang mengatasnamakan masyarakat hanya meminta uang, dan mereka sendiri yang ingin mendapat tempat, tidak bisa,” ujarnya.

Meski membantah, Tigor Gempita Hutapea, kuasa hukum LBH, justru mempertanyakan Zaki. “Apakah warga sudah diperlihatkan konsep penataannya?” dia berkata.

Ia bahkan menilai ada kemungkinan pelanggaran dalam upaya penertiban yang dilakukan Bupati Zaki.

Tigor pun mengingatkan bupati akan hal itu. “Jangan jadikan lokalisasi sebagai alasan penggusuran paksa karena lokalisasi sudah ditutup dua bulan lalu, saat ini yang ada hanya warga dan nelayan yang punya rumah,” ujarnya.

Ia kemudian meminta Bupati Zaki jujur ​​dan terbuka terhadap rencana penertiban tersebut. “Mengajak warga untuk berdialog secara tulus tanpa intimidasi, dan memberikan ruang partisipasi seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat,” ujarnya. —dengan laporan dari Ursula Florene/Rappler.com

BACA JUGA

Hongkong Pools