• November 23, 2024

Warga menentang penggusuran bandara di Kulon Progo

YOGYAKARTA, Indonesia – Pada Senin, 4 Desember 2017, alat berat mulai menghancurkan beberapa rumah yang masih berdiri di Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.

Pihak berwenang berencana membongkar sisa 42 rumah di lahan yang akan digunakan sebagai New Yogyakarta International Airport (NYIA), namun 28 dari 42 pemilik rumah menentangnya.

Ponirah, 35 tahun, salah satunya. Dia memelihara rumah yang dia tinggali selama 21 tahun terakhir. Rumahnya kini hanya satu dari tiga rumah lain yang masih bertahan di sana.

Batang pohon tumbang dan material rumah yang roboh berserakan di sekitar rumah sehingga menghalangi akses masuk ke dalam rumah.

Listrik yang bisa digunakan untuk menerangi kediamannya juga belum ada. “Pukul tiga pagi tadi (4/12) saya hendak memasak nasi untuk kedua anak saya untuk sarapan penanak nasi . “Sepertinya lampunya padam,” kata Ponirah saat ditemui di kediamannya.

Namun pada hari itu, Ponirah tidak sendirian dalam melawan penggusuran. Puluhan relawan pun turut menemaninya, meski alat berat terus bergerak merobohkan sisa bangunan tak jauh dari kediaman Ponirah.

Ponirah mengatakan, belum pernah ada komunikasi apapun mengenai proses penjurian. Juga tidak ada negosiasi mengenai berapa nilai tanah, rumah, dan aset di dalamnya oleh pemerintah. Informasi yang didapat, lahan pemukiman kembali disediakan untuk warga korban penggusuran.

“Dulu saya pikir pindah setelah relokasi itu gratis, tapi ternyata tetangga saya di sana bilang, dia juga membeli tanah itu. Rumah itu harus dibangun kembali. “Tinggal di pemukiman juga tidak mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah,” ujarnya.

Oleh karena itu Ponirah menyatakan akan menginap di kediamannya. Kalaupun suatu saat rumahnya dibongkar, ia dan anak-anaknya tetap ingin tinggal di sana, meski harus tinggal di bawah tenda.

Sebab di dekat rumahnya Ponirah terdapat makam anaknya. “Jumat depan anak saya 1000. Sebelumnya sudah dimakamkan di kuburan. Saya membeli batu nisan untuk dipajang di kuburnya. “Kuburan anak saya tidak bisa digali,” ujarnya.

Matanya berkaca-kaca, teringat anak ketiganya yang meninggal karena kecelakaan tunggal berusia 5 tahun tiga tahun lalu. “Semoga anak saya mendoakan agar orang tuanya selalu kuat,” ujarnya.

Lokasi pemakamannya hanya sepelemparan batu dari kediamannya. Sebuah masjid dan beberapa rumah hampir roboh di sekitar kuburan yang tampak utuh, terhindar dari sentuhan alat berat.

Seminggu ketakutan

Sekitar 100 meter dari kediaman Ponirah berdiri Masjid Al Hidayah. Masjid bercat hijau itu berada di halaman yang sama dengan kediaman Fajar Ahmadi, warga lain yang juga membela.

Fajar mengatakan, pasokan listrik dari PLN di masjid dan kediamannya sudah padam sejak pekan lalu. “Meski banyak warga yang baru isi ulang listriknya, namun tetap terputus,” ujar pria pemilik lahan sekitar 1 hektar yang terdampak pembangunan bandara ini.

Fajar bersyukur ada relawan yang datang menyumbangkan generator sekitar dua hari kemudian untuk menghasilkan listrik bagi masjid dan tempat tinggalnya.

Rumahnya kini menjadi posko Perkumpulan Warga Kulon Progo Anti Penggusuran (PWPP-KP). Masjid Al Hidayah pun ramai dikunjungi relawan pada Senin sore itu.

“Semua tanah saya ada sertifikat hak miliknya, saya tidak pernah ikut proses penaksiran. Tapi kenapa didigitalkan (gedung rusak dan jalan berlubang), kata Fajar.

Fajar mengaku telah melaporkan hal tersebut ke Ombudsman. Menurut dia, surat tanggapan Ombudsman sudah diterima pada Minggu 30 November 2017. Di dalamnya, Ombudsman Provinsi DIY meminta GM Angkasa Pura 1 Yogyakarta menunda proses penggusuran dengan pertimbangan memberikan ketenangan kepada anak-anak setempat yang menjalani semester akhir. ujian.

Ombudsman juga mengatakan, permintaan penundaan penggusuran juga akan dimanfaatkan tim untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Selebaran surat yang ditandatangani Ketua Ombudsman RI Perwakilan Provinsi DIY Budhi Masthuri kemudian ditempel di dinding dan pintu rumah warga yang selamat.

“Sudah ada surat dari ombudsman tapi penggusuran masih berjalan. Artinya, mereka tidak memperhatikan Ombudsman, kata Fajar seraya mengatakan sekolah anaknya di SDN 3 Glagah juga ikut digusur. Kini sekolah tersebut menempati rumah warga di sebuah dusun tak jauh dari sekolah sebelumnya.

“Sekolahnya sudah dibongkar tapi tidak ada bangunan penggantinya, padahal situasinya tidak darurat. “Sayang sekali, kelasnya sempit karena menempati rumah seseorang,” ujarnya.

Ia berharap penunjukan Ombudsman bisa membuka celah untuk menghentikan penggusuran yang mengabaikan hak warga.

Tidak adanya persetujuan masyarakat dalam jual beli tanah

Sementara itu, sejumlah alat berat tak jauh dari Masjid Al Hidayah terus meratakan bangunan sejak pagi hingga sore hari. Ratusan masyarakat yang terdiri dari warga penentang penggusuran dan relawan menggelar salat sunah dan istigosah di tengah jalan utama.

Dipimpin oleh Muhammad Al Fayadl, dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), jamaah melantunkan doa dan berharap penggusuran berhenti setelah salat. Sejumlah warga terlihat asyik berdoa dan menitikkan air mata.

Ejectornya tidak bergerak

Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai mengimbau warga meninggalkan rumah yang hendak digusur.  Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Namun penggusuran terus dilakukan. Sebanyak 264 personel gabungan juga dikerahkan untuk mengamankan proses penggusuran. Tim tersebut terdiri dari kepolisian, Kejaksaan Tinggi Provinsi DIY, Brimob, Satpol PP, dan Angkasa Pura.

Tujuan mereka adalah merobohkan rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya. Terdapat 42 bangunan rumah, dengan penghuni 14 rumah yang menyatakan harus keluar rumah.

“Sebanyak 28 pemilik rumah masih belum mau meninggalkan tempat tinggalnya. Namun, kami tetap melaksanakan kegiatan hari ini dan besok, perintahnya sudah jelas, kata Kapolsek Kulon Progo AKBP Irfan Rifai di lokasi pembongkaran.

Didampingi Angkasa Pura, Kapolsek meminta penghuni rumah yang selamat segera meninggalkan kediamannya. Menurut dia, proyek bandara internasional nasional sudah ditentukan pemerintah dan tenggat waktunya tidak bisa ditawar.

“Saya menyerukan semua orang untuk meninggalkan rumah mereka. Sebab, itu merupakan proyek strategis nasional. Hingga saat ini, batas waktunya belum berubah. “Masih Maret 2019, Kulon Progo harus berjalan dengan baik,” ujarnya.

Irfan mengaku belum membaca surat Ombudsman yang meminta penggusuran ditunda. “Saya tidak tahu apakah surat itu ada atau tidak. Saya kira nanti kita akan membahasnya lagi, ujarnya.

Klaim serupa juga disampaikan Project Manager NYIA PT Angkasa Pura 1 Sujiastono. Ia mengabaikan pertanyaan sejumlah jurnalis di lokasi penggusuran. Belum ada jawaban juga mengenai sikap AP terkait permintaan ombudsman atau tudingan keras Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan 15 kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Indonesia bahwa dalam prosesnya hukum dan HAM serta UUD dilanggar oleh gedung tersebut. dari bandara.

“Ya tanya LBH, tanya Ombudsman di sana,” kata Sujiastono sambil berjalan.

Yogi Zulfadli, Ketua Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, mengatakan proses pengadaan tanah menggunakan sistem penilaian dan konsinyasi atas tanah dan aset di atasnya yang timbul dari pelaksanaan undang-undang nomor 2 tahun 2012.

Proses ini tidak memberikan keadilan bagi pemilik tanah dan aset. Syarat penilaian harus melibatkan warga dalam pendaftaran harta benda atas tanah, sedangkan pengiriman atau penitipan uang ke pengadilan tidak bisa dilakukan oleh seluruh warga.

Pernyataan AP bahwa tanah warga yang menolak dinilai dan dikirim uangnya, menurut saya salah. Sebab, warga di lokasi sedang tidak dalam kondisi bisa mengirimkan uangnya. Antusiasmenya kemudian menjadi semangat penjarahan yang dilakukan pemerintah terhadap warganya, kata Yogi.

Menurutnya, pengiriman atau pembayaran uang ke pengadilan hanya dapat dilakukan jika kondisi tanah tersebut telah dipersengketakan di pengadilan, pemiliknya tidak diketahui keberadaannya, tanah tersebut masih dijaminkan di bank, dan kepemilikan tanah tersebut masih dipersengketakan. . .

Selain merampas hak warga, LBH Yogyakarta juga melihat proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tidak dilakukan sesuai prosedur dan mengabaikan Amdal yang tidak dilakukan sesuai tahapan, kemudian pembangunan bandara bernomor PP. 26 melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan peraturan provinsi DIY. nomor 2 tahun 2010 dan lokasi NYIA Kulon Progo yang berada di kawasan rawan bencana. Tsunami seolah menjerumuskan fasilitas umum ke tempat yang penuh risiko bencana.

“Ada pelanggaran hukum, HAM, dan konstitusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat, baik di provinsi maupun di pusat, dalam proses pembangunan bandara,” kata Yogi.

Suara azan yang terdengar dari Masjid Al Hidayah bercampur dengan suara gemuruh genset menandakan listrik masih mengalir ke masjid, meski belum ada yang bisa memastikan sampai kapan masjid tersebut akan tetap berdiri.

—Rappler.com

sbobet