Warisan abadi propaganda Orde Baru
- keren989
- 0
Menjadi seorang sayap kiri sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh label ideologi politik. Menjadi seorang liberal di Amerika Serikat dapat dicap sebagai “Kiri” karena penolakannya terhadap politik rasial atau pendekatan militeristik dari Partai Republik.
Menjadi seorang muslim di Mekkah pada masa Nabi Muhammad SAW bisa dikatakan berhaluan kiri karena menentang fundamentalisme kaum Quraisy. Begitu pula dengan umat Kristen pada abad-abad awal Masehi bisa dikatakan beraliran kiri karena menentang kekuasaan Romawi.
Menjadi seorang Kiri berarti berkomitmen pada pembebasan, perubahan, keadilan dan kesetaraan.
Dalam sejarah pergerakan Indonesia, berada di sayap kiri bukanlah sesuatu yang aneh. Keinginan untuk terbebas dari penjajahan, mewujudkan dunia yang lebih baik dan modern adalah keinginan yang terpendam di benak setiap anak bangsa saat itu.
Kontak dengan ide-ide pembebasan di Eropa melalui politik etis menjadi ide untuk bebas dari perlawanan kolonial.
Kemampuan Marxisme untuk membongkar sistem kapitalis dan mengeksplorasi penindasan struktural di negara-negara kolonial menjadikannya favorit para pemikir perlawanan. Sentimen anti-kapitalisme dan anti-kolonialisme dengan cepat menyebar di kalangan tokoh gerakan.
Jadi, menjadi seorang Kiri bukan lagi soal ciri-ciri ideologis. Menjadi Kiri adalah komitmen progresif untuk mengakhiri buta huruf politik dan amnesia sejarah.
Berbekal literatur Marxis, para tokoh gerakan mempunyai alasan dan argumentasi yang kuat untuk menentang sistem kolonial.
Tokoh yang mengambil inspirasi dari Marxisme adalah HOS Tjokroaminoto. Salah satu pendiri Perusahaan Islam, dijuluki “Calon Raja Jawa” (Raja Jawa Masa Depan) adalah pendukung sosialisme.
Dalam bukunya Islam dan Sosialisme terbit tahun 1924, ia menekankan bahwa sosialisme adalah hakikat ajaran Islam dan sosialisme ideal berpedoman pada keyakinan agama (Islam). “Sosialisme Islam” itulah yang menurutnya cocok untuk Indonesia.
Ditambah dengan pemberontakan eksperimental melawan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926, gaung Marxisme semakin kuat. Gerakan generasi berikutnya, seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Amir Sharifoddin, dan lain-lain, menggunakan Marxisme sebagai pedoman untuk mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Saat itu, Marxisme di Indonesia bisa diidentikkan dengan paham kiri, meski penerapannya sangat bervariasi.
Dalam kancah politik, paham Kiri dan Marxisme telah diadopsi dan dimodifikasi oleh berbagai kelompok politik atau partai politik. Gagasan tentang kesetaraan, keadilan sosial, dan pemerintahan untuk kebaikan bersama telah menjadi gagasan bersama sejak Indonesia lahir sebagai negara pada tahun 1945.
Kiri sebagai ekspresi politik tumbuh dengan banyak ideologi (Marhaenisme, Sosialisme, Marxisme, Komunisme, anti Kapitalisme-Liberalisme, dan lain-lain) yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Saat itu, suasana budaya intelektual bangsa Indonesia sebagian besar beraliran Kiri, menentang kolonialisme dan imperialisme.
Persoalan perbedaan pandangan politik bukanlah sesuatu yang haram. Seseorang tidak bisa dipenjara atau ditangkap karena ideologinya berbeda dengan pemerintah. Memiliki ideologi adalah hak asasi setiap manusia. Seseorang hanya dapat ditangkap apabila ia melakukan makar atau pemberontakan bersenjata.
Namun pada tahun 1965, pendulum sejarah bergerak ke arah yang tidak terduga. Perjuangan politik berlangsung sengit dan melibatkan spektrum yang luas, mulai dari sipil hingga militer. Salah satu pihak, Partai Komunis Indonesia (PKI), terkena dampak pertarungan ini.
Bukan hanya dibekukan seperti pemberontak PRRI/Permesta atau DI/TII yang diindikasikan dimotori oleh Masyumi dan PSI, namun lebih dari itu, PKI dibakar, dibantai dan diasingkan. Kepanikan menyebar ke segala penjuru, kehancuran pun menghancurkan pendukung Sukarno dan orang-orang di luar PKI.
Kiri sudah menjadi tabu. Kiri menjadi monster yang menakutkan.
Orde Baru mengintegrasikan kekuatannya dengan membentuk simbol yang harus saling bermusuhan. Simbol itu adalah PKI, akurat atau tidaknya berbagai hal yang berkaitan dengannya tidak menjadi masalah, karena kenyataannya Orde Baru telah memisahkan politik dari rakyat. Partai-partai politik dipaksa untuk bergabung, kegiatan politik dilarang, partisipasi politik dibatasi pada upacara pemilu lima tahunan.
Bagi Orde Baru, politik adalah kegaduhan dan biang keladinya adalah partai politik.
Setelah parpol tak lagi berperan, setumpuk warisan disiapkan Orde Baru. Fobia terhadap apa pun yang dianggap sayap kiri menyebar melalui film, media massa, dan bahkan kurikulum sekolah. Kaum Kiri adalah dosa yang tidak bisa diampuni dan segala kejahatan dunia dan neraka adalah milik kaum komunis dan tentu saja kaum Kiri.
Warisan ini diberikan untuk meredam gejolak politik seperti pada masa Orde Lama. Urusan politik itu urusan elite, rakyat tidak perlu ikut campur agar pembangunan tidak terganggu. Selama 32 tahun kepercayaan ini terus berlanjut, diwariskan dari generasi ke generasi hingga akhirnya Orde Baru tumbang pada tahun 1998.
Sejak tumbangnya Orde Baru, wacana sayap kiri sudah tidak tabu lagi. Penerbitan buku, kajian akademis, dan diskusi yang membahas pemikiran progresif tidak lagi dilarang. Meski demikian, bukan berarti depolitisasi Orde Baru hilang begitu saja.
Fobia terhadap kelompok kiri terus berlanjut, banyak generasi muda yang buta huruf secara politik dan mengalami amnesia sejarah mengenai masa lalu kelompok kiri di Indonesia.
Tak hanya itu, pengungkapan sejarah secara adil masih belum terjadi, apalagi rangkaian kasus pelanggaran HAM pada masa rezim Orde Baru juga belum pernah terungkap.
Begitu pula dengan istilah Kiri, melekatnya stigma komunis, atheis dan berbagai atribut menakutkan lainnya telah melahirkan sekelompok masyarakat naif yang tidak paham. Faktanya, propaganda Orde Baru sangat berhasil dalam menyulut fobia sayap kiri.
Bahkan seorang penulis muda yang sukses dan terpelajar seperti Tere Liye pun dilanda fobia sayap kiri yang parah. Sedihnya hingga ia mempertanyakan kontribusi apa yang telah diberikan kelompok sayap kiri terhadap sejarah Indonesia. Hanya ulama yang kontribusinya besar, ujarnya.
Jika demikian, maka RA Kartini, Tan Malaka, Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Syahrir dan para bapak bangsa lainnya yang kebanyakan beraliran kiri akan bangkit kembali dari kuburnya.
Ini adalah warisan abadi Orde Baru yang berhasil mengkambinghitamkan kaum Kiri. Kiri sebagai spektrum politik dipahami mengaitkan rasa takut. Kiri sebagai etos perlawanan terhadap penindasan juga tidak dipahami. Jadi, menjadi seorang Kiri bukan lagi soal ciri-ciri ideologis. Menjadi Kiri adalah komitmen progresif untuk mengakhiri buta huruf politik dan amnesia sejarah.
Oleh karena itu kita harus melawan propaganda Orde Baru. Sudah saatnya kita menengok kembali warisan kisah kejayaan Orde Baru dengan kesadaran yang lebih kritis. Hal inilah yang membuat kita ingin merayakan perlawanan sadar terhadap moralitas Orde Baru.
Perayaan ini merupakan perlawanan blok sejarah untuk mengoreksi sejarah dan memberikan pencerahan kepada generasi muda agar adil sejak awal pemikirannya.
Sebab perlawanan terhadap Orde Baru adalah melawan hegemoni kuda kacamata. Dan karena kita tahu bahwa jalan tidak selalu lurus, belokan tidak selalu benar, maka atas dasar itulah lahirlah gagasan “Belok Kiri.Fest: Melawan Propaganda Orde Baru”.
Kegiatan festival akan terus berlanjut hingga sesi diskusi yang telah kami rencanakan berakhir. —Rappler.com
Indraswari Agnes adalah Sekretaris Jenderal Panitia Festival Belok Kiri.
BACA JUGA: