Waspada terhadap kelompok yang ingin mempolitisasi permasalahan Rohingya
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
SETARA Institute mengingatkan pemerintah untuk segera mengambil tindakan politik untuk mencegah terjadinya ketegangan sosial
JAKARTA, Indonesia – SETARA Institute mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mewaspadai ormas tertentu yang ingin mengeksploitasi isu kemanusiaan etnis Rohingya hanya untuk kepentingan dalam negeri. Sebab, isu-isu yang bersifat populis dan melibatkan agama akan mendapat tempat permanen di tengah krisis kemanusiaan.
Hal ini akan semakin tertanam dalam benak masyarakat, jika aktor-aktor yang terlibat dalam krisis ini berbeda secara diametral dalam hal agama dan etnis.
Ketua SETARA Institute Hendardi mengingatkan, hal ini bukanlah persoalan yang bisa dianggap enteng. Hal ini karena muncul tuduhan bahwa Rohingya didiskriminasi karena alasan etnis dan agama.
Jika pemerintah tidak mengambil langkah politik, maka potensi ketegangan sosial di dalam negeri juga cukup tinggi, kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Sabtu, 2 September.
Meski begitu, mereka tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa krisis yang menimpa Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan yang harus diwaspadai oleh masyarakat internasional. Harus ada intervensi dari komunitas internasional untuk menghentikan tragedi ini.
“Negara-negara anggota ASEAN tidak bisa bersembunyi di balik prinsip menghormati kedaulatan Myanmar atas tragedi ini. Karena kelalaian masyarakat internasional terhadap kejadian yang menimpa Rohingya diduga kuat memiliki motivasi ekonomi dan politik regional, sehingga Aung San Suu Kyi mendapat perlindungan politik, ujarnya.
Situasi di Myanmar hanya akan berubah secara signifikan jika ada rezim lain yang potensial dan akomodatif. Lebih penting lagi, rezim yang berkuasa dinilai melindungi kepentingan beberapa negara yang memiliki kepentingan kuat di Myanmar.
Meski Myanmar sebelumnya pernah menjadi sasaran aksi teroris kelompok radikal akibat perlakuannya terhadap etnis Rohingya, namun Hendardi tidak khawatir dengan kemungkinan terjadinya gangguan di wilayah tersebut.
“Krisis Rohingya adalah krisis yang lebih besar dan didorong oleh dinamika politik dalam negeri Myanmar. Potensi gangguan keamanan dalam negeri akan muncul berupa peningkatan signifikan pencari suaka ke Indonesia dan negara lain, ujarnya.
Namun permasalahan pencari suaka tidak bisa dianggap enteng karena juga menyangkut masalah keamanan dan kewajiban negara untuk mencari solusi terbaik.
SETARA Institute mendukung pemerintah Indonesia untuk membawa para pelaku kejahatan terhadap kelompok etnis Rohingya ke pengadilan internasional. Sebab apa yang dilakukan rezim junta merupakan kejahatan internasional.
“Jadi atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pionir dalam menangani Rohingya,” kata Hendardi.
Embargo ekonomi
Sementara itu, pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyarankan agar Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya memberikan sanksi ekonomi terhadap Myanmar. Cara ini diharapkan dapat menekan junta militer untuk berhenti melakukan tindakan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
“Akar permasalahan etnis Rohingya adalah karena mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Faktanya, ada kecenderungan pemerintah Myanmar ingin melakukan genosida terhadap mereka, kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 September.
Embargo ekonomi hanya akan dicabut jika pemerintah Myanmar bersedia mengakui etnis Rohingya sebagai warga negaranya.
Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Saat itu, AS dan UE melarang masyarakat internasional mengekspor produk ke Myanmar. Mereka juga menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap 111 individu dan perusahaan yang diketahui terkait dengan junta militer dan sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Negeri Paman Sam akhirnya mencabut sanksi pada tahun 2016. Rezim junta militer dinilai melakukan perubahan drastis dengan membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah dan bersedia menggelar pemilu. Meski begitu, hingga saat ini militer masih mempunyai pengaruh yang kuat di ranah politik. – Rappler.com