
Yang perlu Anda ketahui tentang kontroversi rapor warga Bandung
keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia — Warga Kota Bandung bersiap menerima penilaian berupa rapor. Bagi yang jarang bersosialisasi dan tidak aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sebaiknya bersiap-siap mendapat rapor merah. Sedangkan rapor biru diberikan kepada warga yang aktif bersosialisasi dan berkontribusi terhadap lingkungannya.
Laporan indeks komunitas ini merupakan inovasi baru Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dari segi kebijakan. Ia mengumumkan rencana memberikan rapor pada pertengahan Mei di akun Facebook-nya. Ridwan dalam statusnya mengatakan, rapor akan diberikan mulai tahun ini.
“Warga Bandung, mulai tahun ini bersiap-siaplah, kalian akan mendapat rapor indeks komunitas oleh RT/RW setempat. Kalau malas gotong royong, malas mengadakan rapat RT, malas melakukan pengabdian kepada masyarakat, selalu telat membayar PBB, jarang bersosialisasi, depan rumah kotor, rapornya harusnya MERAH.
“Sebaliknya kalau aktif dan berkontribusi pasti rapornya BIRU. Jadi program pengawasan berlapis ini juga bisa mengurangi potensi persembunyian teroris atau kota narkoba yang biasanya tinggal di kota-kota perkotaan yang anti sosial,” kata Ridwan.
Selain warga, ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) juga akan mendapat rapor. Penilaian diberikan oleh warga dan kepala desa. Sedangkan kepala desa dan camat akan mendapat rapor berdasarkan penilaian walikota.
“Jika RT/RW malas dan suka pungli, warga juga bisa memberikan laporan evaluasi RT, RW, Lurah, dan Camat melalui website SIP.Bandung.go.id. dan melalui format tertulis yang akan disosialisasikan pada bulan depan,” kata Ridwan.
Rencana pemberian rapor ternyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. Banyak yang mendukungnya, namun tak sedikit juga yang menolaknya. Bagi yang mendukung, rencana tersebut dinilai merupakan ide bagus.
Jangan langgar privasi orang
Seperti yang diungkapkan Deddy Haryadi, warga Campaka, Kota Bandung. Ia menyetujui gagasan tersebut karena bisa menjadi tolak ukur keterlibatan warga di lingkungannya. Namun agar rapor tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran pribadi warga, Deddy menyarankan untuk membatasi aspek penilaian.
“Batasi saja aspek penilaiannya pada aspek kehidupan bersama, kepentingan bersama di lingkungan itu. “Misalnya keterlibatan dalam menjaga keamanan lingkungan,” ujarnya.
Berbeda dengan Sonny Kusuma yang tidak setuju dengan rencana rapor tersebut. Ia justru menilai ide tersebut tidak kreatif. Masalahnya, kata Sonny, rapornya tidak berfungsi sah sebab dapat dipastikan terdapat generalisasi mengenai kondisi dan situasi warga negara yang sangat bervariasi. Sonny menganalogikan seperti rapor anak SD yang parameternya tidak sama dengan anak SMP atau Madrasah.
Jika ada permasalahan warga yang tidak aktif atau ramah, lanjut Sonny, sebaiknya segera diatasi dengan program atau kegiatan yang dapat menggerakkan dan membahagiakan masyarakat. ramah. Atau bisa juga melalui organisasi masyarakat dan pendampingan.
“Tidak perlu buang-buang anggaran hanya untuk membuat laporan,” kata warga Arcamanik itu.
Walikota tidak perlu membuat sensasi
Rencana pemberian Rapor Indeks Masyarakat juga belum diketahui secara jelas oleh RT/RW. Ketua RW 02 Kebonkangkung Kiaracondong Dadan Suhendar mengaku belum mendapat pemberitahuan soal rencana tersebut. Dadan keberatan dengan pemberian rapor warga, apalagi jika penilaiannya diserahkan ke RT/RW.
Permasalahannya, rapor tersebut tidak akan berlaku karena dipastikan akan terjadi generalisasi terhadap kondisi dan situasi warga yang sangat beragam.
“Akan menjadi kontroversi jika RT/RW memberikan penilaian yang tidak adil. Misalnya, adanya tudingan adanya faktor yang memihak dan tidak memihak terhadap warga tersebut. Selain itu, banyak warga yang sibuk dengan urusan keluarga dan hal ini tidak bisa dipaksakan. Apakah orang ini pantas mendapat rapor merah? Itu akan menjadi bahan perdebatan.
“Sebenarnya tidak perlu ada laporan, sejauh ini sanksi sosial saja sudah cukup. Misalnya, masyarakat yang tidak pernah bersosialisasi atau tidak peduli dengan daerahnya pasti akan menjadi bahan perbincangan atau gunjingan warga sekitar, kata Dadan.
Dadan mengatakan Wali Kota tak perlu membuat heboh dengan rencana laporan warga. Menurutnya, masih banyak program Pemkot Bandung yang belum dirasakan secara langsung, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Sebaiknya, kata Dadan, rencana laporan warga ditunda.
“Biarlah Wali Kota fokus mensejahterakan warga yang belum terlayani,” ujarnya.
Soal rencana pemberian rapor RT/RW, Dadan menegaskan menolak rencana tersebut. Pasalnya, masih banyak RT/RW yang tidak bisa fokus melayani warganya karena harus menghidupi keluarga. Dadan juga mengungkapkan, pengurus RT/RW bukanlah PNS yang harus dinilai kinerjanya.
“Kami bukan pegawai negeri sipil (PNS). Kami RT/RW bukan bawahan Walikota, kami bukan bawahan Walikota. Kadang di beberapa tempat untung ada RT/RW yang mau juga. Seharusnya Wali Kota yang membuat laporan kinerjanya, termasuk laporan kinerja pejabat Pemkot lainnya,” kata Dadan yang menjabat Ketua RW selama dua periode itu.
Hanya pengujian publik
Menanggapi munculnya pro dan kontra terhadap rapor warga, Ridwan Kamil mengatakan rencana itu hanya ujian publik. Ia mengumumkannya di media sosial untuk mengetahui reaksi masyarakat. Rencana rapor warga, kata Ridwan, akan terus diproses, salah satunya akan dilakukan diskusi kelompok fokus (FGD).
“Niat yang baik. Caranya belum disosialisasikan karena sedang dibahas dan prosesnya masih berjalan karena masih ada tahap selanjutnya yaitu FGD,” kata Ridwan kepada wartawan di Balai Kota Bandung, 23 Mei.
Ridwan menyadari ada warga yang merasa risih dengan rencana tersebut. Namun dia beralasan, hal tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan Pemkot Bandung agar warganya memiliki peran sosial. Selama ini, Ridwan mengaku banyak menerima keluhan dari pengurus RT/RW yang menyebut warga tidak mau terlibat dalam kegiatan masyarakat.
“Karena RT/RW juga banyak yang mengeluh: ‘Pak, ini teh “Anak kos diajak kerja bakti atau tidak, disuruh gotong royong dan diutus pembantu, seolah-olah bisa ditukar dengan rupiah.” Jadi pertanyaan mendasarnya, apakah hal seperti ini harus dibiarkan saja, seolah-olah masyarakat akan matang dengan sendirinya atau ada peran pemerintah di sana untuk mengkondisikannya,” kata Ridwan.
Menurutnya, permasalahan tersebut harus ada jawabannya. Jika tinggal di kota, lanjutnya, warga harus menyadari bahwa mereka mempunyai kewajiban sosial. Hal inilah yang membedakan Pancasila dan filsafat individualistis. Filsafat Pancasila mengandung falsafah gotong royong dan kebersamaan.
Jadi kalau jadi warga negara Indonesia harus rukun, saling bantu, harus gotong royong, itu sebenarnya tidak sulit, ujarnya.
Ridwan menegaskan, penerapan rapor indeks masyarakat tidak disertai sanksi terhadap warga penerima rapor merah. Pemerintah juga tidak akan memaksa warganya untuk aktif di lingkungannya. Namun rapor tersebut dapat menjadi tolak ukur bagi pemerintah Kota Bandung dalam hal pengalokasian anggaran dan penentuan program pembangunan.
“Kepada daerah-daerah yang indeksnya paling tinggi kita akan berikan anggaran lebih karena mereka sangat aktif. Untuk daerah yang indeks komunitasnya rendah kami berikan strategi khusus. Segala sesuatu dimulai dengan niat. Niatnya untuk warga Bandung ramah, agar warga Bandung tidak individualistis, ingin memenuhi kewajiban sosialnya. “Jadi kalian bukan hanya warga negara yang menuntut hak, tapi juga menunaikan kewajiban sosial,” jelas Ridwan.
Ridwan juga mengingatkan warga penerima rapor merah agar tidak protes jika tidak mendapat prioritas pelayanan di RT/RW. Hal inilah yang menjadi salah satu risiko yang dihadapi warga yang tidak mau terlibat dalam kegiatan masyarakat.
“Tidak ada sanksi. Tapi kalau RT/RW mengutamakan yang aktif dulu untuk urusan (masyarakat), jangan marah-marah. Pasti ada hadiah Dan hukumankata Ridwan.
Rencana rapor warga tidak boleh dipublikasikan
Pengamat kebijakan publik Asep Warlan Yusuf menilai penerbitan rencana rapor warga merupakan langkah yang tidak tepat. Ia khawatir jika rapor itu diketahui masyarakat maka akan menimbulkan persaingan tidak sehat.
“Tidak diumumkan (terbitkan), itu memalukan dan tidak mendidik. Kekhawatirannya akan timbul kecurigaan di masyarakat (terkait penilaian tersebut). Hal ini juga dapat menimbulkan persaingan tidak sehat di masyarakat, masyarakat dapat saling mengejek karena laporan pemerintah. Dan parahnya, masyarakat tidak (didorong) berbuat apa-apa,” kata Asep yang juga pakar hukum tata negara itu.
Menurut Asep, ide rapor warga sebenarnya merupakan ide yang bagus. Namun hal itu tidak boleh dipublikasikan. Rencana ini seharusnya hanya ada di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Tujuannya untuk memetakan masyarakat sebagai acuan dalam menyusun anggaran dan menentukan program pembangunan.
“Data itu diberikan kepada pemerintah untuk menindaklanjuti apa yang harus dilakukan, menentukan program dan anggaran, untuk turunan kebijakan selanjutnya. Jadi jangan hanya memberi angka. Kalau di Bandung ada, bagus sekali karena tujuan program dan sasarannya jelas. Bahasa sosiolog berdasarkan nama berdasarkan alamat,” kata Asep. —Rappler.com