Zinedine Zidane: Karisma yang mendahului kata-kata
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Saat berolahraga, pelatih Rafael Benitez dari Real Madrid memanggil Cristiano Ronaldo. Ia memberikan sesi khusus kepada pemain asal Portugal itu tentang cara melakukan tendangan bebas, posisi kaki, dan sasaran gol.
Seorang pelatih yang karir sepak bolanya sebagian besar dihabiskan di tim kedua mencoba memberi tahu Anda cara melakukan tendangan bebas? Bahkan jumlah gol yang dicetak Benitez bagian tertentu mungkin tidak pernah ada. Atau kalaupun ada, tidak ada yang peduli.
Ronaldo menatap Benitez dengan dingin. Tatapannya penuh kebingungan. Alisnya berkerut. Salah satu pemain terbaik pada masanya, dengan beberapa gelar atas namanya Ballon d’Orharus menuruti pelatih yang bahkan belum pernah mencetak satu pun gelar besar dalam kariernya sebagai pemain sepak bola.
Anda bisa memprediksi akhir dari kejadian di Valdebebas. Ronaldo tetap pada caranya menendang bola dan Benitez merasa telah melakukan tugasnya.
Melatih tim bertabur bintang seperti Real Madrid sangat berbeda dengan menangani tim lain. Pemain sejati adalah mereka yang mahir dalam teknik. Jika Anda mengajak mereka berdebat teknik, mereka justru akan lebih berpengetahuan.
Tidak perlu memberi tahu mereka cara menangani bola. Real bukanlah tim yang terdiri dari anak-anak sepak bola “sekolah” yang masih membutuhkan bimbingan apakah akan menendang bola dengan kaki bagian dalam atau luar.
Jose Mourinho juga menghadapi situasi Benitez dalam kepelatihan Meringue sepanjang tahun 2010-2013. Ia sempat terlibat adu mulut dengan Sergio Ramos saat pemainnya merindukan bek Barcelona Carlos Puyol yang tiba-tiba bangkit dari ketertinggalan dan mencetak gol.
“Dalam sebuah pertandingan terkadang Anda berpindah ke pemain yang Anda anggap lebih berbahaya. “Saya menjaga Gerard Pique saat itu,” kata Ramos kepada Mourinho.
“Terkadang Anda mengubah keputusan berdasarkan situasi. “Anda belum pernah bermain sepak bola, jadi Anda tidak tahu situasi seperti itu bisa terjadi,” tambah Ramos dalam transkrip percakapan yang dipublikasikan di Marca.
Seperti halnya para pemain, para pelatih yang menempati kursi panas pelatih Real Madrid juga bukan sosok sembarangan. Mereka adalah ahli taktik yang pernah meraih gelar besar di klub lain. Mourinho merupakan pengoleksi gelar juara dari berbagai negara di Eropa, sedangkan Benitez berhasil meraih gelar Liga Champions bersama Liverpool.
Pelatih lainnya pun tak kalah bagusnya. Carlo Ancelotti bahkan meraih si Kuping Besar -julukan trofi Liga Champions- sebanyak dua kali bersama AC Milan.
Namun, ketika ia datang ke Real Madrid, gelar-gelar besar yang diraihnya di luar negeri bukanlah jaminan. Trofi dan kepercayaan diri para pemain adalah dua hal yang berbeda. Ini adalah pengetahuan umumbuku panduan” untuk melatih klub sebesar Real.
Bersama Zinedine Zidane dalam 18 bulan terakhir, para pemain Real bahkan mendapati sang pelatih tidak pernah mencapai apa pun dalam karier manajerialnya. Dia satu-satunya pelatih tim akademi yang dipromosikan setelah kontrak Ancelotti diputus.
Namun rasa hormat dan kepercayaan yang didapat Zidane dari para pemain jauh lebih besar. Rasa hormat mereka melampaui sikap tunduk mereka kepada Mourinho, Ancelotti atau Benitez yang digabung menjadi satu.
Legenda yang melatih legenda
Sebenarnya metode kepelatihan Zidane tidak secanggih para pelatih tersebut. Dia juga bukan seorang motivator yang mahir memainkan kata-kata seperti Mourinho. Sebaliknya, pelatih berusia 44 tahun itu cenderung pendiam, pemalu, dan tak banyak bicara di depan publik.
Seperti pada final Liga Champions musim lalu saat Real menghadapi rival sekota Atleico Madrid di San Siro, Milan. Zidane hanya berkata, “Nikmati permainannya,” kata Zidane seperti dikutip ESPN.
Begitu pula saat para pemain merasakan ketegangan yang luar biasa. Dalam pertandingan yang mereka menangi melalui adu penalti, Zidane memotivasi para pemainnya dengan kata-kata sederhana: “Saya berharap dapat bersama Anda di lapangan.”
Kalimat ini terdengar terlalu sederhana. Tapi Zidane lebih dari sekedar kata-kata itu. Para pemain mendengar kata-kata ini datang dari seorang pria yang telah mencapai segalanya dalam sepakbola. Tidak ada satu pun gelar besar di muka bumi ini yang terlewatkan oleh Zidane. Mulai dari gelar domestik, Eropa, hingga Piala Dunia.
Para pemain tak sekadar melihat sosok pelatih datang dan pergi tanpa makna. Mereka sedang melihat sebuah legenda. Pelatih yang masih aktif bermain ini menjadi idola mereka sejak mereka baru mulai mencintai sepak bola.
Dengan profil mentereng tersebut, Zidane tak perlu menjelaskan kepada pasukannya bahwa mereka harus menghormatinya. Karismanya muncul sebelum kata-katanya. Legitimasi bukanlah persoalan serius bahkan sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di Santiago Bernabeu.
Dengan pelatih yang tiga kali menjadi pemain terbaik dunia, tidak ada satu pun pemain yang tampil lebih baik darinya. Tidak ada Sergio Ramos yang selalu menantang strategi bermain tim. Atau Ronaldo yang merasa kapasitasnya sebagai pemain terhebat di era ini terganggu.
Karena Zidane adalah bagian dari mereka. Dia bukan hanya seorang pemain tetapi juga melewati masa-masa puncak bintang-bintang seperti mereka. Mourinho, Benitez dan para pelatih yang datang dan pergi dari Santiago Bernabeu tidak pernah “berlatih”.
Karisma Zidane-lah yang menaklukkan ruang ganti Real. Dan kharisma itu hampir tidak berubah sejak dia masih bermain.
Saat masih melatih Juventus, Carlo Ancelotti menyebut Zidane pernah terlambat naik bus tim. Ancelotti menoleransi penundaan hingga 10 menit. Namun, pemain asal Prancis itu tidak muncul. Terakhir, Ancelotti meminta bus segera berangkat. Tiba-tiba Paolo Montero, bek Juventus asal Uruguay, menyela. “Tanpa Zidane kami tidak akan kemana-mana,” kata Montero.
Bus menunggu sampai Zidane tiba sebelum berangkat.
Metode pelatihan konservatif
Beberapa saat setelah ia ditunjuk sebagai pelatih Real Madrid, media Spanyol menuding pilihan tersebut berisiko tinggi. Zidane tidak punya banyak pengalaman. Dia introvert dan tidak bisa berkomunikasi.
Dengan dua gelar Liga Champions dalam 18 bulan kepemimpinannya, pers Spanyol kemungkinan besar akan lebih bungkam.
Namun, harus diakui Zidane tidak memiliki pendekatan taktis yang terlalu rumit. Dengan Zidane, segalanya menjadi lebih sederhana. Tidak ada pola bermain yang “revolusioner” dengan disiplin ketat terhadap posisi dan jarak antar pemain. Real juga lebih fokus pada permainan tim ketimbang beradaptasi dengan gaya permainan lawan.
Zidane telah mengembalikan menu latihan ke dasar. Seperti dicatat kolumnis New York Times Rory Smith, pelatih kelahiran Aljazair itu menekankan kebugaran pemain. Ia selalu meminta para pemainnya melakukan sesi lari jarak jauh untuk membangun stamina.
Faktanya, cara yang terinspirasi dari pelatih lama seperti Marcello Lippi (mantan pelatihnya di Juventus) kini banyak ditinggalkan.
Isco, salah satu pemain bintang di laga terakhir melawan Juventus, mengatakan satu hal yang sangat dirasakannya bersama Zidane adalah peran pelatih dalam meningkatkan mentalitasnya. Begitu pula Ronaldo yang merasakan betapa Zidane lebih peduli pada pemainnya.
Pendekatan individual Zidane kepada para pemain lebih dari mampu menutupi kekurangannya dalam hal taktik. Dan tidak ada pemain yang merasa terlindungi. Mereka mematuhi pelatih.
Saat sesi latihan tendangan bebas, seperti diceritakan kolumnis ESPN Sid Lowe, Zidane memberikan beberapa nasihat kepada Ronaldo. Dan Ronaldo tidak merasa terganggu. Tentu saja karena pada sesi tersebut Zidane lebih banyak mencetak gol dibandingkan Ronaldo.
Semua pendekatan ini, dengan pro dan kontranya, terbukti paling efektif dalam membawa gelar bagi Real. Mereka memenangkan 2 Liga Champions dan 1 gelar Divisi Primera bersama Zidane.
Dan gelar Liga Champions ke-12 ini menjadi penanda sejarah penting bagi Zidane. Untuk pertama kalinya, Real menjadi klub di era Liga Champions yang mampu mempertahankan gelarnya. Sedangkan Zidane menjadi pelatih pertama yang melakukan hal tersebut.
Dua hingga tiga musim ke depan, Liga Champions nampaknya harus bersiap menjadi “taman bermain” bagi anak-anak Galacticos. Setidaknya selama Zidane masih bersama mereka.—Rappler.com