Apakah konsep feminisme ada dalam Islam?
- keren989
- 0
Sebagai seorang muslimah yang dibesarkan oleh seorang ibu yang merupakan seorang wanita karir dan tumbuh bersama teman-teman wanitanya yang meraih prestasi gemilang dan kini menekuni karirnya masing-masing, saya mempunyai pemikiran bahwa wanita bisa menjadi apa saja dan meraih impiannya.
Tanpa diingatkan atau diajarkan, saya meyakini kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan saya sebagai individu, warga negara Indonesia, dan perempuan muslim.
Saya mendukung feminisme yang menjunjung tinggi kesejahteraan perempuan dengan memberikan kesempatan pendidikan dan karir yang setara serta melindungi hak-hak dasar dan melawan kekerasan. Feminisme tidak pernah terdengar seperti penindasan bagi saya.
Namun kenyataannya, banyak orang yang tidak mempunyai pemahaman yang sama. Pada tanggal 2 April, sebuah grup Ormas membatalkan acara feminis di Bantul, Yogyakarta. Fakta ini menyadarkan saya bahwa ada beberapa pihak yang merasa ragu bahkan terintimidasi dengan pemahaman yang saya rasa wajar, progresif, dan positif.
Seperti dilansir laman sosial Betina Collective, para peserta dan penyelenggara acara Lady Fast yang mayoritas perempuan mendapat intimidasi verbal bahkan diancam kekerasan fisik oleh anggota ormas yang mayoritas laki-laki dan digunakan para penganut agama. . karakteristik.
Mereka dituding mengusung unsur ideologi komunis dan menganggap perempuan feminis adalah perempuan yang “tidak punya moral dan agama” karena sering memakai pakaian terbuka dan mabuk-mabukan.
Hal ini membuat saya berpikir, apa yang membuat para anggota ormas mengasosiasikan feminisme dengan paham radikal. Apakah tidak ada konsep feminisme dalam Islam? Apakah konsep feminisme tidak lazim dalam Islam?
Pendidikan adalah rahim perempuan modern
Padahal konsep feminisme juga diajarkan dalam agama Islam dan disiarkan oleh berbagai intelektual muslim. Sosialisasi feminisme dimulai pada abad ke-19 pada era yang disebut mendesah, yang berarti modernisasi dan reformasi Islam. Intelektual sesak nafas meyakini bahwa perempuan yang merdeka, terpelajar, dan mandiri adalah syarat utama kebangkitan ummat Islam. Era ini mendorong bangkitnya tokoh-tokoh muslim yang feminis.
Beberapa di antaranya adalah Syekh Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi, Syekh Muhammad Abduh dan Qasim Amin.
Syaikh al-Thahthawi lahir pada tanggal 15 Oktober 1801 di Thanta, Mesir Hulu, yang dikenal sebagai Sya’id. Pada tahun 1826, Muhammad Ali, pemimpin Mesir saat itu, mengirimkan Syekh al-Thahthawi dan murid-murid terbaiknya ke Prancis untuk belajar selama lima tahun.
Selama di Perancis, Syekh al-Thahthawi membaca karya intelektual Condillac, Voltaire, Rosseau, Montesquieu dan Bezout. Ketiga karya Al-Thathawi diberi judul takhlish, Manahij al-Albab, Dan al-Mursyid al-Amin menjadi karya terpenting abad ke-19.
Tumbuh besar di pedalaman Mesir dan lulus dari lembaga keagamaan tradisional namun berpikiran terbuka bukan berarti Syekh al-Thahthawi mengalami benturan budaya. Karena ada perbedaan umum antara laki-laki di Perancis dan di Mesir, ia meruntuhkan stereotip dan prasangka terhadap laki-laki.
Syaik al-Thahthawi menilai masyarakat Prancis sebagai contoh positif. Dalam bukunya, ia menjelaskan bagaimana pria Prancis memperlakukan wanita dengan sopan. Jika perempuan tidak mendapat tempat duduk, maka laki-laki akan menyerahkan tempat duduknya. Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan di negaranya.
Begitu pula dengan cara Anda berpakaian dan cara Anda bersosialisasi. Menari antara pria dan wanita dianggap sebagai tanda persahabatan, namun tari perut di Mesir selalu dikaitkan dengan erotisme dan nafsu.
Syekh al-Thahthawi sering menegaskan bahwa sumber kejayaan wanita di ranah Franji (Eropa) adalah dari pendidikan yang baik, bukan dari pakaian. Baginya, pendidikan adalah rahim perempuan modern. Ia percaya bahwa perempuan memiliki peran besar dalam pembangunan masyarakat, sehingga ia mengusulkan pendirian sekolah untuk perempuan pada tahun 1836 meskipun pada akhirnya gagal.
Syaik Al-Thahtawi dikenal sebagai tokoh nasionalis karena kemampuannya sebagai jembatan antara pemikir Eropa dan dunia Islam serta membawa konteks Revolusi Perancis ke Mesir disesuaikan dengan konteks negara dan ajaran Islam.
‘Pelecehan terhadap perempuan bertentangan dengan Islam’
Ada pula Syekh Muhammad Abdu yang tidak mengenyam pendidikan barat seperti Syekh al-Thathawi namun memiliki pandangan terbuka terhadap Islam modern. Syekh Abduh lahir di wilayah delta Mesir pada tahun 1849. Ia terlibat dalam Revolusi Urabi sebelum diasingkan ke Beirut oleh pemerintah Inggris pada tahun 1882. Menurutnya, rasionalitas Islam merupakan landasan modernitas Islam dan meyakini bahwa Islam telah membuat ketentuan-ketentuan modern. kepala sekolah.
Ia menganggap pelecehan terhadap perempuan bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Sebab menurutnya Islam adalah agama yang mengutamakan kesetaraan.
Ia meyakini ada delapan landasan dalam agama. Beberapa poin di antaranya adalah melemahnya kedaulatan agama (qalb al-sulthah al-diniyah), Artinya tidak ada yang bisa mengontrol kedaulatan keimanan seseorang kecuali Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW serta menjaga dakwah agar terhindar dari kekacauan.
Syekh Abduh berpendapat bahwa perang yang disyariatkan Islam adalah upaya mempertahankan diri dari serangan, namun ajaran ini tidak meniadakan ajaran memaafkan lawan.
Ia juga melarang konsep fanatisme atau ekses dalam beragama.
Oleh karena itu Syekh Abduh juga menegaskan bahwa perempuan mempunyai hak dan kewajiban dalam Islam serta berkeluarga, meskipun laki-laki adalah kepala rumah tangga atau laki-laki. qawwam, namun seperti kehidupan sosial bernegara, musyawarah tetap diperlukan. Berbeda dengan tradisi Arab Jahiliyah yang mengatur kehidupan perempuan hingga menikah, Syekh Abduh berpendapat bahwa perempuan berhak menikah dengan pria yang dicintainya tanpa adanya paksaan.
Feminis Muslim adalah mitra perempuan
Qasim Amin juga dikenal sebagai tokoh feminis Muslim yang populer. Dibesarkan oleh ayah Turki-Utsmani dan ibu Mesir kelas menengah, Qasim Amin akhirnya menjadi pengacara ketika dia berusia 22 tahun. Ia kerap menulis artikel reformasi dan kerap mengundang kontroversi hingga saat ini.
Karyanya yang terkenal adalah Tahrir, al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang diterbitkan pada tahun 1899. Buku ini membahas dua perspektif besar, yaitu reformasi pendidikan dan sosial serta reformasi pemikiran keagamaan.
Dalam karya ini terlihat jelas bahwa Qasim Amin terinspirasi dari konsep liberalisme Syekh al-Thathawi dan rasionalisme Islam Syekh Abduh. Lalu dia menulis sebuah buku al-Mar’ah al-Jadidah (Wanita Modern).
Namun, Qasim Amin bukanlah orang pertama yang berbicara tentang perlunya pendidikan dan kebebasan bagi perempuan. Pergerakan intelektual perempuan dalam bidang kepenulisan dimulai dari berbagai tokoh di daerah Malu (Suriah, Lebanon, Palestina dan Yordania).
Qasim Amin meyakini kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan yang mampu melahirkan segala pemikiran, mempublikasikan setiap aliran dan menyambut setiap gagasan.
Mengutip Muhammad Guntur Romli dari bukunya “Muslim Feminist”, feminis muslim merupakan “mitra perempuan” dalam menjaga kesetaraan gender yang merupakan jihad dalam agama Islam. Tokoh-tokoh intelektual ini sangat dibutuhkan untuk menyebarkan toleransi di kalangan umat Islam dan umat beragama lainnya.
Seperti yang dikaji oleh Syaikh Abduh, Islam mempunyai landasan modern dan tentunya konsep feminisme merupakan konsep yang harus dianut sepenuhnya oleh seluruh umat Islam dan muslimah di Indonesia. Feminisme tidak boleh dijadikan musuh. Dan, jangan membenci apa yang tidak kamu mengerti tidak perlu membenci sesuatu yang bahkan belum bisa kita pahami. —Rappler.com
Ayu Meutia adalah manusia copywriter di sebuah agensi kreatif independen di Jakarta dan pecinta puisi. Kunjungi pemikirannya di adjoemoetia.blogspot.com.
BACA JUGA: