• May 19, 2024
Aktivis telah mencatat 5.000 kasus perdagangan satwa liar secara online

Aktivis telah mencatat 5.000 kasus perdagangan satwa liar secara online

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Penegakan hukum yang lemah tidak membuat para penjahat jera

MALANG, Indonesia ̶ Perburuan satwa liar meningkat sepanjang tahun 2015. Badan konservasi satwa liar dan hutan mencatat 370 kasus perburuan liar sejak Januari 2015 hingga pertengahan Desember 2015. Banyak perburuan liar terjadi di kawasan hutan lindung dan cagar alam.

Juru Kampanye ProFauna Swasti Prawidya Mukti mengatakan, sejumlah kawasan konservasi di Jatim menjadi sasaran perburuan satwa liar, seperti Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Hutan Raya R Soerjo, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Merubetiri, hutan sekitar Gunung Ijen, Dataran. Suaka Margasatwa Hyang Tinggi, Gunung Arjuna dan Gunung Kawi.

“Habitat alami merupakan tempat hewan mencari makan, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan banyaknya penjaga hutan yang menjaga kawasan tersebut,” kata Swasti.

Dalam setahun terakhir, ProFauna Indonesia menerima 200 pengaduan mengenai perburuan liar. Sekitar 90 persen pengaduan adalah soal foto perburuan satwa yang diunggah di media sosial. Foto tersebut memperlihatkan pelaku membawa hewan buruan beserta senjata yang digunakan. Ada sekitar empat kasus perburuan online yang masih berlanjut di tingkat kepolisian.

Di antaranya pembantaian kucing hutan di Jember, pembantaian beruang madu di Kalimantan Timur, pembunuhan harimau sumatera di Sumatera Utara, serta pembunuhan dan pembakaran primata di Kalimantan Tengah. Namun, tidak ada satupun kasus yang sampai ke pengadilan. “Kasus di Jember kurang bukti dan kasus lainnya belum ada yang dijatuhi hukuman,” ujarnya.

ProFauna mencatat sebagian besar pemburu liar adalah generasi muda yang aktif menggunakan media sosial. Mereka menggunakan Facebook dan media sosial lainnya untuk berkomunikasi dalam komunitas hewan tertentu. “Cara mereka menyayangi hewan salah, mereka memelihara, menangkap, dan menjual hewan,” ujarnya.

5000 Kasus Perdagangan Online

Selain berburu satwa liar, jaringan media sosial juga banyak digunakan untuk melakukan transaksi perdagangan satwa liar. ProFauna mencatat sedikitnya 5.000 kasus perdagangan hewan secara online dan salah satunya menggunakan Facebook. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun lalu sebanyak 3.640 kasus iklan berbagai media sosial yang menampilkan berbagai jenis satwa liar.

Meski ada perdagangan online, namun sebagian besar hewan tersebut berasal dari daerah Jawa Timur. Dari pemetaan data, ProFauna menemukan 16 kasus perdagangan orang yang terungkap di media massa di wilayah Jawa Timur, disusul tujuh kasus di Jawa Barat, dan lima kasus di Bali. “Jawa Timur menduduki peringkat pertama karena masih banyak hutan yang menjadi tempat asal satwa liar,” ujarnya.

Selain itu, posisi Jawa Timur juga strategis sebagai penghubung jalur perdagangan Indonesia bagian timur dan barat, baik melalui laut maupun udara. “Surabaya juga dinilai sebagai pasar potensial bagi perdagangan hewan,” tegasnya.

Sejumlah kasus penyelundupan satwa dengan bukti mencengangkan antara lain penyelundupan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang ditemukan di Medan pada bulan April 2015, disusul kasus penyelundupan 10 kg insang pari manta, empat kasus penyelundupan hewan. kantong tulang hiu campur, dan pari manta, dua kantong tulang hiu dan empat sirip hiu di Flores Timur pada bulan Juli 2015.

Pada Agustus 2015 pula di Tanjung Priok, Jakarta Utara, menyelundupkan satu kontainer cangkang kerang kepala kambing senilai Rp 20,422 miliar.

Kurangnya efek jera

Tingginya kasus jual beli dan perburuhan satwa liar salah satu penyebabnya adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pedagang satwa sehingga tidak mampu memberikan efek jera. ProFauna Indonesia mencatat enam kasus perdagangan hewan sepanjang tahun ini. Pelaku divonis pidana penjara antara enam bulan hingga dua tahun dan denda Rp500 ribu hingga Rp50 juta.

Vonis terberat dijatuhkan pada November 2015 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Langsa terhadap pelaku perdagangan orangutan, elang bondol, burung pegar, dan satu ekor burung cheetah berbulu yang diawetkan. Pelaku divonis dua tahun penjara dan denda Rp50 juta, ditambah maksimal tiga bulan penjara.

Sedangkan penyelundupan satwa antarnegara yang dilakukan Basuki Ongko Raharjo asal Malang mendapat sanksi ringan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonisnya enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. ̶ Rappler.com

BACA JUGA

Pengeluaran Sidney