• May 18, 2024
Anggota DPR 2014-2019 yang terlibat korupsi

Anggota DPR 2014-2019 yang terlibat korupsi

JAKARTA, Indonesia – Sejak dilantik pada 1 Oktober 2014, tujuh dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 2014-2019 ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap. .

Tiga di antaranya sedang menjalani hukuman penjara, dan lainnya sedang diadili di Pengadilan Tipikor atau sedang berlangsung penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Ketujuh Anggota legislatifnya berasal dari seluruh partai dan komisi di DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) “memimpin” dengan dua kader, sedangkan Komisi V yang membidangi infrastruktur dan transportasi memiliki jumlah terbanyak dengan “menyumbang” tiga anggota.

Siapa mereka? Berikut rangkuman politisi Senaya yang harus berurusan dengan hukum karena kedapatan melakukan tindak pidana korupsi.

28 Juni 2016: I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat

Politisi Partai Demokrat I Putu Sudiartana ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa malam, 28 Juni. diduga menerima suap sebesar S$40 ribu dan Rp500 juta untuk mencetak gol berencana membangun 12 ruas jalan di Sumbar dalam APBN Perubahan 2016 yang disetujui DPR pada Selasa 28 Juni.

Sebagai anggota Badan Anggaran, Sudiartana yang duduk di Komisi III DPR memang bisa “mengelola” alokasi anggaran negara, dalam hal ini APBN Perubahan. Proses penyidikan masih berjalan, namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Anggota Legislatif Daerah Pemilihan Bali itu tunduk pada Pasal 12 A atau Pasal 11 UU Tipikor.

Selain Putu, KPK juga menangkapnya Noviyanti (Sekretaris Putu), Muchlis (Suami Noviyanti), Suhemi (Pengusaha), Yogan Askan (Pengusaha), dan Suprapto (Kepala Dinas Prasarana, Jalan, Penataan Ruang, dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat).

27 April 2016: Andi Taufan Tiro dari Partai Amanat Nasional (PAN)

Mantan anggota Komisi V DPR Andi Taufan Tiro menunggu pemeriksaan di lobi Gedung KPK, 13 Juni 2016. Foto Rosa Panggabean/Antara

Andi Taufan Tiro ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 27 April 2016.

Dalam dakwaan, Andi didakwa menerima suap sebesar Rp7,4 miliar dari pengusaha Abdul Khoir, Direktur PT Windu Tunggal Utama (WTU) untuk mendorong Komisi V DPR menyetujui usulan proyek rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. . Andi merupakan anggota Komisi V yang membidangi infrastruktur dan transportasi.

keputusan Andi sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan kasus suap yang menyeret anggota Komisi V lainnya, Damayanti Wisnu Putranti dari PDI-P.

Andi dijerat dengan pelanggaran Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.

2 Maret 2016: Budi Supriyanto dari Partai Golkar

KPK menetapkan politisi Golkar Budi Supriyanto sebagai tersangka pada 2 Maret 2016 atas dugaan menerima suap dari pengusaha Abdul Khoir, Direktur PT Windu Tunggal Utama, untuk mengamankan proyek infrastruktur jalan di Maluku. tahun anggaran 2016.

Abdul Khoir divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 13 Juni.

Budi diduga menerima suap dari Abdul Khoir terkait usulan program aspirasi, yakni proyek pembangunan jalan di Maluku. Padahal, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Budi mengembalikan suap sebesar S$305 ribu namun ditolak Direktorat Kepuasan Komisi Pemberantasan Korupsi karena terkait dengan tindak pidana yang ditangani lembaga antirasuah tersebut.

Setelah dua panggilan pengadilan tidak digubris, KPK menangkap paksa Budi pada 15 Maret 2016.

Sama seperti Andi Taufan Tiro, politikus Golkar ini menjadi tersangka karena berkembangnya kasus dugaan korupsi tersangka Damayanti Wisnu Putranti dari PDI-P.

13 Januari 2016: Damayanti Wisnu Putranti dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Politisi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti kedapatan menerima suap dari Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir pada 13 Januari 2016. Anggota Komisi V DPR ini diduga menerima suap sebesar Rp8,1 miliar dalam tiga tahap, masing-masing S$328 ribu, Rp1 miliar dolar AS, dan S$404 ribu.

Abdul Khoir diyakini memberikan uang untuk melaksanakan rencana tersebut pembangunan jalan yang melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kempupera) di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Kemupera adalah mitra Komisi V DPR yang membawahi sektor infrastruktur dan transportasi.

Hingga saat ini, perkara politikus PDI Perjuangan ini masih berlanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

20 Oktober 2015: Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura

Mantan anggota DPR dari Fraksi Hanura, Dewie Yasin Limpo (tengah) menangis usai menghadiri sidang beragenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 13 Juni 2016. Foto Wahyu Putro A/ Antara

Anggota Komisi VII DPR Dewie Yasin Limpo ditangkap pada 20 Oktober 2015 dalam operasi tangkap tangan di sebuah restoran di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dalam dakwaan, Dewie disebut menerima hadiah sebesar 177.700 dolar Singapura dari Kepala Dinas Pemerintahan Deiyai, Irenius Adi dan pengusaha Setiyadi Jusuf melalui perantara Rinelda Bandaso.

Uang tersebut diberikan agar Dewie bisa membantu memperoleh anggaran pemerintah pusat sebesar Rp50 miliar untuk proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

Pada 13 Juni 2016, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Dewie Yasin Limpo 6 tahun penjara.

16 Oktober 2015: Patrice Rio Capella dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem)

DITANGKAP.  Tersangka kasus dugaan suap Patrice Rio Capella mengenakan rompi tahanan KPK pada Jumat 23 Oktober.

Anggota DPR dari Partai Nasdem Patrice Rio Capella harus mengenakan rompi oranye KPK. Hari itu, 23 Oktober 2015, Patrice mendatangi Gedung KPK untuk memberikan kesaksian terkait kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung.

Sebelumnya, Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti, ditangkap lebih dulu.

Dalam persidangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membuktikan Patrice terbukti menerima gratifikasi terkait proses penanganan kasus bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal di sejumlah badan usaha milik daerah di Utara. Provinsi Sumatera melalui Kejaksaan.

Pada 21 Desember 2015, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan Sekjen Partai Nasdem itu dengan hukuman 1,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta. Selain itu, pengadilan juga mencabut hak politik untuk memilih dan dipilih selama 5 tahun terhitung sejak yang bersangkutan selesai menjalani masa pidananya.

9 April 2015: Adriansyah dari PDI-P

Politisi PDI-P Adriansyah ditangkap KPK pada 9 April 2015 di Hotel Swiss-Belresort Sanur, Bali.

Pria yang dua periode menjabat Bupati Tanah Laut ini diduga menerima suap dari Direktur PT Mitra Maju Sukses Andrew Hidayat terkait izin pertambangan di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Andrew juga menjadi tersangka pemberi suap.

Uang dari Andrew diberikan oleh anggota polisi, Brigadir Agung Krisdianto. Tujuannya untuk mengefektifkan rencana bisnis pertambangan. Uang Rp 2 miliar yang diterima Adriansyah ada dalam tiga jenis mata uang.

Uang senilai Sin$50 ribu diberikan pada April 2015 di Bali. Sedangkan pemberian sebesar Rp 500 juta diberikan pada 28 Januari 2015 di Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat.

Selain itu, diberikan pula sejumlah US$50 ribu pada 13 November 2014 di Mall Taman Anggrek, Jakarta. Sedangkan Rp500 juta lainnya diberikan pada 20 November 2014 di Jakarta.

Dalam konferensi tersebut, ia dijerat Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pada 23 November 2015, Adriansyah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

—Rappler.com

HK Prize