• May 3, 2024
Apakah buzzer memerlukan kode etik?

Apakah buzzer memerlukan kode etik?

JAKARTA, Indonesia — Di Indonesia, Anda tidak harus menjadi artis untuk mengiklankan sesuatu. Cukup punya 2 ribu lebih follower Twitter, maka akan ada pelanggan yang datang kepada Anda untuk kerjasama periklanan.

Pada tahun 2013, kantor berita Reuters menerbitkan berita tentang par bel di Indonesia. Hal ini tentu sangat mengejutkan mengingat saat itu Jakarta merupakan kota dengan pengguna Twitter terbanyak di dunia. Beberapa kantor berita lokal mulai memperhatikan buzzer ini.

Bagaimana tidak, cukup bermodalkan follower, jempol, dan paket internet para bel yang rata-rata berusia di bawah 30 tahun bisa menghasilkan uang. Pendapatan mereka pun tidak main-main.

Bel dengan 2 ribu follower, satu tagihan bisa dibayar Rp 250-300 ribu per tweet; sedangkan yang mencapai puluhan ribu bisa mendapat penghasilan hingga jutaan.

(BACA: Bisakah Hati Mereka Berdengung?)

Masalahnya mungkin berbeda-beda, tergantung pada klien dan arahannya sesi informasi. Mereka mungkin mengiklankan produk tertentu, atau menggemakan berbagai isu sosial lainnya. Bahkan, ada juga yang rela mengangkat isu tertentu tanpa harus menerima bayaran.

Masih belum resmi

Tiga tahun telah berlalu sejak kantor berita internasional memberitakan berita tersebut, namun profesinya bel masih dikategorikan tidak resmi.

“Masih belum dianggap sebagai profesi, dan belum ada organisasi yang menaunginya,” kata pengamat media sosial Nukman Luthfie saat dihubungi Rappler, Jumat, 2 September 2016.

Itulah yang menjadikan sebuah profesi berdengung Memang belum ada aturan bakunya.

Namun demikian, satu bel Aulia Masna dari Twitter mengatakan, aturan mengenai beriklan di media sosial sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam Amandemen Etika Periklanan Indonesia 2014. Pasal 4.6.9 menyatakan bahwa media sosial pribadi tidak boleh digunakan untuk beriklan, kecuali sebelumnya telah disebutkan secara jelas adanya unsur iklan komersial.

Menurut etika periklanan Indonesia, bel harus memberikan informasi yang jelas saat mempromosikan suatu produk karena pada dasarnya postingan bersponsor atau nge-berdengung “Itu iklan,” kata Aulia.

Namun hingga saat ini belum ada format resmi dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) yang bisa diikuti masyarakat bel.

Oleh karena itu, sebagian besar buzzer bekerja sesuai dengan kenyamanannya masing-masing. Pria yang lebih dikenal dengan sebutan @amasna di Twitter misalnya, hanya dibutuhkan proyek yang sesuai dengan bidangnya.

“Bagi saya, produk, layanan, atau tujuan harus sejalan dengan minat saya sehingga setidaknya kompetensi dan relevansinya secara keseluruhan bagi diri saya dan mendengar atau pengikut,” dia berkata.

Jika tidak, pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis digital ini tidak akan berkata apa-apa.

Sedangkan untuk pembayaran, dia mengaku tidak menetapkan tarif. Terkadang dia hanya meminta bayaran sesuai suasana hatinya. “Masalahnya, pendapatan tidak tetap,” akunya.

Prosedur pembesaran

Lain lagi dengan Ahmad Vesuvio yang berhasil menjadi admin bel untuk akun @AyoSehat pada tahun 2010. Ia mengikuti serial tersebut sesi informasi disediakan oleh kliennya, sebuah perusahaan yang memasok air minum dalam kemasan.

“Dijelaskan bahwa saya tidak boleh menyebutkan merek dan nama produk, juga tidak boleh mengajak masyarakat untuk mengkonsumsi produk tersebut; “Tulis saja kampanye yang menyerukan pentingnya air mineral bagi kesehatan,” kata Ahmad kepada Rappler.

Jika dilanggar, ia akan didiskualifikasi dan kontraknya batal.

Dari pengalaman itu dia mengadopsinya berdengung Yang bagusnya adalah tidak menyebutkan nama produknya. Namun, dalam proyek yang berbeda, prosedurnya berbeda.

“Kami berkolaborasi dengan Bango Food Fest; “Memang kami tidak menambahkan hastag #ad, namun kami menampilkan secara jelas gambar produk, logo, dan branding produk,” kata Ahmad.

Dari situ, menurutnya, otomatis masyarakat mengetahui tweet tersebut berupa dukungan.

Ahmad sendiri memiliki tim Ayo Sehat untuk memutuskan layak tidaknya sebuah proyek berdengung akan diterima atau tidak. Mereka akan mendiskusikan permintaan tersebut selama 2 minggu hingga 1 bulan, tentang pro dan kontra dari obligasi berdengung apa yang akan dilakukan.

“Diskusikan isi dan bentuk kalimat apa yang akan kita gunakan, diskusikan waktu penerbitannya berdengung dan di sela-sela aliran sesat, masalah hukum,” ujarnya. Jika berdampak buruk maka akan langsung ditolak.

Sekali lagi, proyek yang diterima selalu bergantung pada kebijakan individu. Seperti halnya Ahmad di Ayo Sehat, ia hanya akan mengerjakan proyek di bidang kesehatan yang sesuai dengan gerakan dan latar belakangnya.

Apakah etika itu perlu?

Kembali ke kebijakan masing-masing, perlukah dibuatkan kode etik bagi para buzzer, mengingat profesi ini sudah diakui efektivitasnya secara luas?

Baru-baru ini, situs web TruthinAdvertising.org menyerang keluarga Kardashian yang terkenal, yang seringkali berisi konten iklan tanpa memberikan informasi. Menurut situs tersebut, artis-artis ini melanggar peraturan Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC).

Mirip dengan etika periklanan, FTC juga mengatur agar artis menuliskan dengan jelas apa yang mereka unggah apakah itu iklan atau bukan. Pada akhirnya, Kim Kardashian-West dan saudara-saudaranya pun mengubah format caption gambar iklannya dengan menambahkan hashtag #ad.

Apakah perlu bel di Indonesia melakukan hal serupa?

“Sulit untuk mengelolanya (bel). Namun ada pula yang-pendek mereka berasal dari agen. Setahu saya, ada kode etiknya agenjadi diminta mematuhi kode etik periklanan,” kata Nukman.

Bagaimana dengan pelakunya sendiri? Haruskah mereka mendaftarkan diri mereka sebagai bel di biodata akun media sosialnya?

Aulia sendiri tidak menuliskannya, namun menurutnya menuliskannya pun tidak akan banyak berpengaruh. “Karena apa yang mereka lihat, kan, Pos“Itu dia, bukan orangnya,” kata Aulia.

Sementara itu, Ahmad berpendapat jika suatu konten mengandung unsur iklan, sebaiknya diberi tagar #ad, apalagi jika berbayar. Begitu pula dengan gerakan sosial.

Dia mengakui ada risiko yang harus diambil. “Dari segi gerakan sosial berbayar, apa yang kemudian ditemukan berdampak pada masyarakat yang tidak mau berpartisipasi,” kata Ahmad.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menentukan proyek yang mana berdengung akan diambil atau tidak. Hal ini juga dapat mencegah terjadinya hal tersebut reaksi tentang kampanye yang sedang dilakukan.

Aulia juga mengatakan hal serupa. Para bel Yang terbaik adalah mengeksplorasi proyek yang mereka lakukan, termasuk klien dan tujuan mereka, untuk menghindari komentar negatif.

“Selain itu tentunya agar kami bisa menjelaskan lebih lanjut kepada anda pengikut tentang proyek yang sedang ditangani. Lebih banyak lagi bel siapa yang hanya tahu sebatas sesi informasi diberikan,” kata Aulia.

Jika tidak, maka akan berakhir seperti itu Kampanye #NoWitchHuntKarHut kemarin, yang menyebabkan putusnya persahabatan dan hubungan antar bel dan agensi.

Tentu saja, perpecahan bukanlah tujuan akhir dari kampanye kebakaran hutan, bukan?-Rappler.com

Keluaran HK Hari Ini