• May 20, 2024
Benarkah Seven Eleven ditutup karena larangan minuman beralkohol?

Benarkah Seven Eleven ditutup karena larangan minuman beralkohol?

Ini adalah ringkasan buatan AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteks, selalu merujuk ke artikel lengkap.

Konsep hangout yang ditawarkan Sevel banyak ditiru oleh kompetitornya. Namun, Sevel akhirnya tidak bisa menghadapi persaingan tersebut

JAKARTA, Indonesia – Akhir Juni 2017, tidak ada lagi belanja di 7-Eleven. Toko waralaba yang terkenal dengan minuman ringan Slurpee ini tidak akan beroperasi lagi di Indonesia.

PT Modern Sevel Indonesia selaku pengelola 7-Eleven di Indonesia mengatakan sejak tahun 2015, pendapatannya berangsur-angsur menurun, hingga akhirnya merugi pada kuartal terakhir tahun 2016. Tentu banyak alasan mengapa Sevel tidak bisa bertahan, namun yang paling menonjol adalah larangan penjualan minuman beralkohol (minol).

“Karena penjualan minuman keras tidak diperbolehkan, mereka mulai kehilangan satu keunggulan kompetitif dibanding yang lain,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani saat dihubungi Rappler, Senin, 26 Juni.

Saat pertama kali muncul, Sevel memang menjual berbagai bir dan minuman beralkohol ringan lainnya. Mereka juga menyediakan kursi dan meja bagi pengunjung untuk duduk dan berkumpul bersama teman-temannya sambil mengobrol.

Menurut Haryadi, konsep menggabungkan bisnis retail dengan gaya hidup anak muda Jakarta yang gemar hang out sangat menarik. Gerai waralaba lain yang muncul lebih awal, seperti Alfamart, Indomaret, dan Circle K, tidak menyediakan tempat duduk untuk pengunjungnya. Nyatanya, gerai-gerai ini akhirnya mengikuti gaya Sevel.

Sementara itu, dugaan penurunan penjualan akibat larangan penjualan minuman beralkohol itu sendiri masuk akal. Peraturan ini pertama kali keluar pada era Menteri Perdagangan Rachmat Gobel melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015.

Setelah tidak bisa lagi menjual minuman keras, Sevel kesulitan menghadapi kompetitor yang sudah ada. Haryadi menilai manajemen Sevel juga belum menanggapi perubahan ini.

“Antisipasi yang rusak. Ada masalah dalam manajemen yang tidak diharapkan,” katanya.

Pada akhirnya, masalah keuangan yang sudah mulai muncul semakin parah karena tidak mampu menutupi biaya operasional di 175 gerai Sevel Indonesia.

Akuisisi yang dibatalkan

Selain itu, rencana akuisisi dengan Charoen Phokpand senilai Rp 1 triliun juga batal karena tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang berkepentingan. Ketiadaan modal untuk mengembangkan strategi bisnis akhirnya membuat Sevel hengkang dari Indonesia.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai kejatuhan Sevel lebih disebabkan oleh rencana bisnis pemegang saham 7-Eleven yang terlalu agresif. Upaya mereka untuk mendapatkan pangsa pasar yang maksimal di sektor bisnis ritel belum dibarengi dengan pengembalian investasi yang sepadan.

“Jadi saya pikir perencanaan bisnisnya sudah salah sejak awal,” katanya.

Manajemen juga kurang cepat melakukan penyesuaian terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat yang berubah sejak ekonomi melambat. Menurutnya, larangan mini market yang menjual miras tidak berpengaruh.

Namun, penutupan Sevel tidak berdampak pada perekonomian Indonesia maupun sektor ritel secara umum. Airlangga mengatakan karena faktor terbesar masalah ini berasal dari dalam. Haryadi pun berpendapat sama, jika Sevel masih belum sebesar Alfamart dan Indomaret.

Sebelumnya, Direktur PT Modern International Tbk Chandra Wijaya mengatakan, pihaknya akan menutup seluruh gerai 7-Eleven yang pengelolaannya berada di bawah perusahaannya. Chandra mengatakan, penutupan seluruh gerai ini dilakukan karena perseroan memiliki keterbatasan sumber daya untuk melanjutkan operasional gerai. toko serba-ada itu. – Rappler.com

Pengeluaran Hongkong