• May 20, 2024
Drama tiga babak Ahok-Jokowi-Megawati

Drama tiga babak Ahok-Jokowi-Megawati

Babak kedua drama Ahok-PDIP berakhir. Pada Selasa malam, 20 September, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akhirnya mengumumkan Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017. ibu kota negara.

Pada Rabu, 21 September, Ahok dan Djarot akan mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah untuk mengikuti pemilu daerah pada Februari 2017.

Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, berpidato mengingatkan visi misi PDIP yang diusung Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum partai berlambang moncong putih itu. Hasto antara lain sempat menyebut keberpihakan pada “rakyat kecil”, sebelum akhirnya mengumumkan pilihan pasangan calon Pilkada PDIP sejumlah daerah, termasuk Ahok-Djarot untuk Jakarta, yang dipilih Bu Ketum.

Hasto mengatakan, alasan memilih petahana karena Ahok dan Djarot dinilai mampu mengemban visi Jakarta yang lebih baik.

“Petahana juga lebih berpengalaman,” kata Hasto.

Drama babak kedua saya sebutkan karena sorenya sepulang dari pertemuan dengan Megawati, Ahok memasang wajah masam. Merengut. Kepada awak media yang mengelilingi kediaman Megawati, Ahok mengaku belum mendapat kepastian apakah dirinya yang diusung PDIP.

“Pengumuman jam delapan. Saya berangkat ke kantor,” kata Ahok seraya mengatakan Djarot berjanji akan memberi tahu jika Megawati akhirnya memilih Ahok.

Beredar di media massa foto pertemuan Ahok dan Megawati serta elite PDIP di kediaman Megawati, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Wajah-wajah serius muncul menunggu perintah Megawati.

Bahkan, sejak sehari sebelumnya, restu Megawati untuk Ahok santer beredar. Ibarat sebuah drama, para aktor berusaha membangun ketegangan sesuai keinginan sutradara. Harapkan klimaks. Gagal. Reaksi umum masyarakat: ya, tentu saja PDIP mendukung Ahok-Djarot.

PDIP awalnya terkesan menolak Ahok

Drama di babak pertama adalah gejolak hubungan Ahok dan PDIP. Teman dekat Megawati mengatakan, Megawati menegaskan calon kepala daerah harus mengikuti prosedur organisasi melalui sistem seleksi.

nama Ahok tidak masuk dalam daftar calon gubernur disampaikan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Ahok tidak mendaftar untuk mengikuti seleksi PDIP. Ahok sebenarnya menolak tawaran menjadi calon dari partai politik, termasuk PDIP. Sementara itu, Megawati mengambil sikap tajam terhadap Ahok yang mengatakan dirinya tidak ingin dipilih oleh partai politik karena mahar harus dibayar.

Megawati enggan mengakui partainya suka meminta mahar kepada calon kepala daerah.

“Apakah aku pernah meminta uang padamu?” ujarnya pada Selasa 6 September di Wisma Kinasih, Depok.

Publik juga menilai hubungan Ahok dengan fungsionaris PDIP tak selamanya mulus. Bahkan penuh riak, termasuk hubungan dengan Dewan Pimpinan Daerah PDIP di Jakarta.

Namun Ahok punya tempat tersendiri di hati Megawati. Itu sebabnya Megawati mendukung pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012. Megawati menilai Ahok adalah sosok yang mampu menjalankan pemerintahan yang menghargai keberagaman di ibu kota Jakarta.

Ketika Ahok akhirnya memilih lewat jalur mandiri atas restu teman-teman Ahok, Megawati dan PDIP kecewa. Ada kesan Ahok sedang melakukan deparpolisasi.

Masyarakat yang mengikuti jejak Ahok pun tak heran melihat manuver politikus asal Belitung Timur ini. Ahok punya rekam jejak sebagai politisi yang mudah keluar dari partai politik, termasuk pendukungnya. Akhirnya, ia keluar dari Gerindra untuk mendukung Jokowi pada Pilpres 2014.

Ahok yang mengkritik partai politik akhirnya menerima usulan Partai Golkar. Ahok pernah menjadi kader Golkar dan anggota DPR partai berlambang beringin tersebut.

Dukungan Golkar melengkapi dukungan Partai NasDem dan Partai Hanura.

Ahok didukung oleh tiga partai politik yang bernuansa Orde Baru. Teman-teman Ahok tetap tinggal. Bahkan, manuver maju bersama kawan-kawan Ahok melalui jalur independen juga merupakan bagian dari drama untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Ahok di mata partai politik.

Manuvernya berhasil. Tiga parpol dengan 24 kursi di DPRD DKI mendukungnya. Persyaratan minimum untuk pencalonan adalah mendukung 22 kursi. Ahok masih belum tenang.

Begitupun Jokowi. Jelas terlihat bahwa Jokowi “mencintai” Ahok dan berharap Ahok kembali terpilih menjadi gubernur pada Pilkada 2017. Ada kesamaan kimia antara keduanya.

Lihat saja bagaimana Jokowi masih datang ke kawasan Balai Kota DKI setelah menjadi presiden hanya untuk periksa gigi. Padahal, wajar jika Jokowi mendukung Ahok. Jokowi ingin memastikan “warisan” kebijakan dan sejumlah keputusan yang diambilnya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta untuk jangka waktu sekitar 2 tahun akan dilanjutkan oleh Ahok. Aman.

Ini juga salah satu alasan mengapa Presiden Barack Obama berkampanye dengan penuh semangat dan semangat untuk Hillary Clinton melawan Donald J. Trump. Selain satu partai politik dengan Hillary, Obama pasti khawatir jika Trump memenangkan pemilu presiden AS, maka segala keputusan dan kebijakan yang diambilnya akan ditinjau ulang, dirobek-robek, dibatalkan oleh Trump.

Tentu saja Obama mengatakan alasan mendukung Hillary dan menolak Trump adalah demi kepentingan AS yang lebih baik di mata nasional dan internasional. Namun sulit dipercaya bahwa politisi tidak memiliki kepentingan pribadi terkait kekuasaannya.

Terlepas dari kesinambungan keputusan yang diambilnya di DKI Jakarta, saya menilai Jokowi rasional dalam mendukung Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta periode berikutnya. Jokowi jelas akan ikut serta dalam Pilpres 2019 dan berharap bisa terpilih kembali.

Memenangkan Pilpres 2019 di DKI Jakarta merupakan hal yang penting dan Jokowi berharap hal tersebut akan lebih mudah diraih jika Ahok-Djarot memimpin Jakarta. Restu Megawati terhadap Ahok-Djarot berarti dukungan terhadap PDIP dan infrastruktur partai politik di Jakarta.

Kita lihat bagaimana Jokowi seolah-olah “mengantar” Ahok menemui Megawati. Saat Ahok, Jokowi, dan Megawati berangkat bersama dalam satu mobil usai Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, akhir Juli tahun ini, para pendukung Ahok mulai merasa lega.

Media memberitakan, Ahok dan Megawati berkendara “mesra” bersama di dalam mobil. Sumber yang mengetahui pembicaraan dalam perjalanan itu mengatakan Ahok mencoba “merayu” Megawati dengan mengatakan tidak akan lagi melakukan deparpolisasi.

Ahok mengabarkan dirinya akan ikut serta dengan dukungan tiga partai politik. Ahok akan lebih nyaman jika PDIP juga mendukungnya.

Megawati sempat menanggapi singkat dengan mengatakan PDIP punya mekanisme untuk menyeleksi calon kepala daerah.

“Dia (Megawati, Red) bilang, dia punya mekanisme dan prosedur yang harus dijalani. “Kami tunggu saja Ny. Keputusan Mega,” kata Ahok kepada media.

Menurutku, ini adalah akhir dari babak pertama drama ini. Kita digiring untuk meyakini bahwa Megawati, sebagaimana dilihat masyarakat selama ini, adalah politisi yang menjunjung tinggi prinsip, termasuk tata cara partai politik yang dipimpinnya. Ahok tidak mengikuti prosedur PDIP.

Padahal, seperti pimpinan partai politik lainnya, Megawati juga cenderung memilih calon yang berpeluang menang lebih tinggi berdasarkan survei persepsi masyarakat terhadap pemilih. Megawati dan PDIP pernah mendukung Gamawan Fauzi sebagai calon gubernur Sumbar, padahal Gamawan bukan kader PDIP.

Gamawan merupakan sosok yang populer saat itu. Saat menjabat Bupati Solok, Gamawan menerima Penghargaan Antikorupsi Bung Hatta. Ia yang didukung PDIP dan Partai Bulan Bintang akhirnya menang dan menjadi gubernur.

Tentu masih banyak isu lain yang beredar di balik kesepakatan di paruh kedua drama tersebut. Termasuk soal tawar-menawar jabatan penting tertentu. Bagi saya itu masih rekayasa.

Sulit dibuktikan. Yang saya yakini, 10 tahun menjadi oposisi bukanlah saat yang baik bagi Megawati dan PDIP. Berkuasa dan menjadi pemenang pasti lebih nyaman. Terakhir, sikap pragmatis.

Jadi, drama babak pertama dan kedua sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bagi mereka yang mengikuti pengambilan keputusan politik. Ibarat membaca review sebuah film yang berisi memanjakan.

Meski sudah mengetahui akhir ceritanya, namun kita tertarik untuk terus menontonnya, mengetahui detail dan rangkaian adegannya, apalagi melibatkan sosok bintang. Megawati, Jokowi, Ahok adalah bintang politik saat ini. Lainnya, termasuk dukungan partai politik, merupakan tambahan. Yang saling melengkapi.

Jokowi bisa bernapas lega. Kita bisa tersenyum melihat berbagai gerak-gerik Megawati.

Lanjutannya akan kita saksikan di babak ketiga drama ini. Siapa Penantang Ahok-Djarot? Apakah calon penantang di Pilkada DKI Jakarta lebih dari satu? Apakah pencalonan Ahok-Djarot berjalan mulus? Apakah Ahok-Djarot akan menang mudah seperti saat melawan Hello Kitty?

Saya yakin kelompok yang tidak menginginkan Ahok memimpin Jakarta tidak akan tinggal diam dan berusaha mendukung calon yang memiliki elektabilitas bagus, yang layak bersaing di Pilkada Jakarta.

Yuk siapkan ubi rebus untuk menyaksikan kelanjutan drama ini. Mengapa memasak ubi jalar? Karena makan jagung meletus Juga arus utama. Bukankah kita harus mendorong jajanan tradisional Indonesia? – Rappler.com

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.

Pengeluaran Hongkong