• May 20, 2024
Kurangnya pemahaman terhadap agama menyebabkan terjadinya intoleransi di Yogyakarta

Kurangnya pemahaman terhadap agama menyebabkan terjadinya intoleransi di Yogyakarta

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Mereka tidak begitu paham kenapa mereka melakukan itu, mereka tahu mereka membela agama. Masalahnya, masyarakat menganggap kelompok seperti itu benar-benar Islami.

YOGYAKARTA, Indonesia – Hasil survei Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Yogyakarta menunjukkan, pemicu konflik antar umat beragama di Yogyakarta adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya, yakni 42 persen. Urutan kedua karena provokasi yang dilakukan tokoh agama sebanyak 23 persen.

Ketua FKPT Yogyakarta Kyai Abdul Muhaimin mengatakan di urutan ketiga disusul aliran agama sebesar 16 persen, sisanya masing-masing 4 persen karena pendirian tempat ibadah, 3 persen karena isu Kristenisasi dan Islamisasi, sedangkan sisanya 12 persen. persen tidak menjawab.

“Survei kami melibatkan lebih dari 500 responden. Hasilnya cukup mengejutkan kami. Tampaknya potensi konflik karena kurangnya pengetahuan agama, kata Muhaimin saat menjadi pembicara pada Diskusi Membedah Akar Radikalisme Agama di Asrama Haji Yogyakarta, Senin 29 Februari.

Ia menilai, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap agamanya membuat mereka sulit menerima perbedaan. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan fenomena munculnya sejumlah organisasi ekstrem yang berlabel keagamaan dan semakin dominan.

“Yang terjadi, mereka sebenarnya tidak mengerti kenapa mereka melakukan itu, mereka tahu mereka membela agama. Masalahnya, masyarakat menganggap kelompok seperti itu benar-benar kelompok Islam, kata Muhaimin.

Karena terbatasnya pengetahuan agama, masyarakat tidak bisa mengenali peta gerakan ekstremis ini. Faktanya, peta organisasi ekstremis di Yogyakarta ada tiga, yaitu organisasi bermotif ekonomi, organisasi bermotif politik, dan organisasi bermotif ideologi.

“Ada ormas yang setelah menggerebek rumah ibadah agama lain, kemudian datang perwakilannya perjanjian. Kalau mau aman, tolong bawa ketiga anggota ormas itu ke pengadilan. Ada juga perebutan tempat parkir dan keamanan klub malam. Ada pula yang motifnya politis, seperti GPK dan PPP. “Yang berideologi dengan latar belakang sejarah yang kuat itu seperti HTI,” ujarnya.

Meski motifnya berbeda-beda, namun dalam beberapa persoalan bisa cair dan bermetamorfosis sesuai kebutuhan. Misalnya saja pada isu Ahmadiyah, Syiah, dan LGBT.

“Keduanya membutuhkan platform untuk berkembang penentuan posisi mereka. Ini adalah sebuah pertanyaan pendanaan akhirnya,” kata Muhaimin.

Sementara itu, Kyai Jazilus Sakhok dari Forum Komunikasi Pesantren melihat hasil survei FKPT menunjukkan kedangkalan dalam beragama. Dalam Islam, lanjut Jazilus, dimensi ajaran Islam adalah Ihsan yang merupakan lapisan inti, Iman yang merupakan lapisan tengah, dan Islam yang merupakan lapisan luar. Ihsan adalah inti berupa akhlak, Iman berkaitan dengan aqidah, dan Islam berkaitan dengan fiqh.

“Kebanyakan orang hanya mempelajari fiqih, padahal lapisan luarnya saja. Dalam Al-Qur’an, fiqh hanya berjumlah 5,8 persen. Sedangkan yang lain seperti Ihsan yaitu bahwa akhlak mempunyai peranan yang besar. “Ada kedangkalan di sini, masyarakat menganggap Islam hanya berdasarkan fiqh,” kata Jazilus.

Jika Anda yakin ingin mempelajari Islam, Anda harus mempelajari tiga lapisan ini. Namun ia mengutamakan Ihsan yang harus dijalani karena Ihsan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan Lilalamin.

“Manusia adalah masalah karakter. Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak masyarakat, mengapa ormas melakukan kekerasan atas nama Islam? “Ini jelas bertentangan,” ujarnya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Live HK