• May 19, 2024
Pada kasus Patrialis Akbar, harga tersebut turun dalam pemeringkatan indeks korupsi tahun 2016

Pada kasus Patrialis Akbar, harga tersebut turun dalam pemeringkatan indeks korupsi tahun 2016

JAKARTA, Indonesia – Komisioner Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengatakan, faktor pendorong turunnya peringkat indeks persepsi (CPI) Indonesia pada tahun 2016 adalah indeks penegakan hukum (aturan hukum).

Transparency International Indonesia (TII) pada pekan lalu mengumumkan bahwa CPI Indonesia naik satu poin menjadi 37 pada tahun 2016, dibandingkan tahun 2015 yang mendapat skor 36 dari skor tertinggi 100. Secara global, Indonesia turun peringkat dari peringkat 88 pada tahun 2015 menjadi peringkat 90 pada tahun 2016, dari 176 negara yang disurvei.

“Tentunya saya bersyukur dengan kenaikan skor CPI sebanyak satu poin. Namun kenaikan satu poin ini menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah Indonesia. “Khususnya dalam meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan serta meningkatkan kualitas aparat penegak hukum kita (polisi, jaksa, dan hakim),” kata Laode saat dihubungi Rappler, tak lama setelah pengumuman TII pada 25 Januari lalu.

Ia menunjukkan catatan World Justice Project (WJP) mengenai penegakan hukum di Indonesia, serta menilai penyalahgunaan wewenang publik di kalangan eksekutif, yudikatif, polisi/militer, dan legislatif.

Sejak tahun 2015, angka WJP Indonesia masih tergolong rendah.

Tahun 2016, International Country Risk Guide (ICRG) keanggotaan 50, World Economic Forum (WEF) 40, IMD 39, Economic Intelligence Unit (EIU) 37, BTI 36, Property and Environment Research Center (PERC) 35, GI 34, dan WJP 26.

Skor rata-rata global untuk CPI 2016 adalah 43, sedangkan skor rata-rata untuk Asia Pasifik adalah 44. Sebagai anggota G-20, Indonesia juga masih tertinggal jauh dibandingkan rata-rata skor anggota G-20 yaitu 54.

Menurut Laode, skor WJP yang mengukur kepatuhan suatu negara terhadap penegakan hukum berkaitan dengan kinerja polisi, jaksa, dan hakim. Benar saja, beberapa jam setelah TII mengumumkan peringkat CPI Indonesia, di hari yang sama, KPK menangkap Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.

Patrialis tertangkap basah KPK menerima suap sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura. Uang tersebut diyakini ada hubungannya dengan Peninjauan kembali UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Laode mengatakan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berupaya semaksimal mungkin agar IPK naik signifikan pada tahun depan. Di ASEAN, semuanya cenderung turun. Di atas Indonesia ada Singapura dan Malaysia yang peringkatnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, skor Indonesia masih di bawah Malaysia (49 poin), Brunei (58), dan Singapura (85), namun masih di atas Filipina (35), Thailand (35), Vietnam (33), Myanmar (28 poin) ). ), dan Kamboja (21).

“Intinya masih banyak pekerjaan rumah. Dukungan presiden, parlemen, dan lembaga peradilan merupakan syarat mutlak bagi perbaikan IPK, kata Laode.

Laode mengatakan saat wawancara dengan Rappler tahun lalu bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo mendukung tujuan KPK untuk mencapai target CPI dengan skor 50.

Reformasi birokrasi berjalan lambat

Laporan TII menyebutkan skor 37 poin ini diperoleh dari survei yang dilakukan di 10 kota di Indonesia. Saat mengumumkan survei CPI 2016, Sekjen TII Dadang Trisasongko mengatakan skor yang naik satu poin menunjukkan tren positif dalam pemberantasan korupsi.

“Peningkatan lima poin dalam kurun waktu lima tahun dinilai terlalu lambat untuk mencapai target 50 pada akhir tahun 2016,” kata Dadang.

“Kenaikan skor CPI berjalan lambat karena pemberantasan korupsi selama ini hanya terfokus pada sektor birokrasi. Reformasi birokrasi memang turut berkontribusi dalam peningkatan integritas pelayanan publik dan berkontribusi pada peningkatan skor CPI rata-rata 1 poin setiap tahunnya. “Strategi pemberantasan korupsi nasional masih belum memberikan porsi yang besar terhadap korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis,” ujarnya.

Ketua Pengurus TII Natalia Soebagjo mengatakan: “Dalam rangka peningkatan daya saing dan kemudahan berusaha, fokus pada korupsi birokrasi memang penting, namun bukan satu-satunya strategi percepatan pemberantasan korupsi nasional.”

“Korupsi birokrasi erat kaitannya dengan korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis. Praktik korupsi birokrasi hanya merupakan gejala saja (gejala) mengenai praktik korupsi korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis yang lebih besar (korupsi besar),” kata Natalia.

Ia menyebutkan, kasus Panama Papers meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyalahgunaan perusahaan cangkang untuk menutupi korupsi, pencucian uang, dan kejahatan transnasional.

Panama Papers meningkatkan tuntutan masyarakat agar perusahaan serius menerapkan program antikorupsi, transparan dalam kepemilikan dan struktur perusahaan, serta transparan dalam pelaporan keuangan perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan transaksi lintas batas negara.

“Ketiga tuntutan di atas harus masuk dalam agenda pemberantasan korupsi nasional agar skor CPI bisa meningkat tajam. Sementara itu, inisiatif dan target program bermunculan dalam konteks nasional Amnesti Pajak “Diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap nilai-nilai antikorupsi, tidak hanya pada bidang pendapatan negara,” kata Natalia.

Sektor swasta perlu ditingkatkan

Dadang menilai, meski reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah turut mendorong peningkatan indeks persepsi korupsi, namun lambatnya peningkatan tersebut terjadi karena fokus pemberantasan korupsi hanya pada sektor birokrasi dan belum berdampak pada sektor swasta.

“Dengan skor 37, pertumbuhan ke depan akan lebih cepat jika lebih banyak perbaikan dilakukan pada sektor swasta. “Sekarang diminta berbenah, perusahaan-perusahaan besar mulai berbenah, tapi sebagian besar belum,” kata Dadang.

Menurut Dadang, peraturan Mahkamah Agung baru yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi dapat digunakan untuk memperkuat sektor swasta.

Pada bulan November 2016, MA diterbitkan Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Kejahatan Korporasi.

Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa perusahaan dapat dikenai tuntutan pidana dalam kasus korupsi apabila terbukti menggunakan sumber daya, fasilitas, dan struktur organisasinya untuk membeli suap.

Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani mengamini sektor swasta perlu segera berbenah.

“Saat ini terlalu banyak pembicaraan tentang kampanye melawan korupsi. Kenyataan di lapangan sebenarnya jauh berbeda. Hentikan korupsi bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan, kata Shinta kepada Rappler, Selasa, 31 Januari.

Shinta merupakan CEO Sintesa Group dan juga Ketua Umum Persatuan Pengusaha Indonesia.

Anggara Suwahju, peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan Perma saja tidak cukup untuk mengatur kejahatan korporasi.

“Harus dibuat dalam bentuk undang-undang,” kata Anggara kepada Rappler, Selasa.

Menurutnya, perubahan konteks sistem peradilan pidana harus dilakukan secara sistemik karena menyangkut hukum acara.

“Banyak yang perlu diubah untuk mengatasi korupsi di kalangan aparat penegak hukum,” kata Anggara. Kata dia, terkait kejahatan korporasi, pemerintah bisa memulai peraturan pemerintah.

Berdasarkan catatan Komisi Yudisial, sejak Januari hingga Mei 2016, terdapat 11 pejabat pengadilan yang terdiri dari tiga pejabat pengadilan dan delapan hakim yang perkaranya muncul di publik atau media, belum lagi yang tidak dapat diakses untuk dipublikasikan.

Penangkapan Patrialis Akbar menambah rentetan kejadian tersebut aparat penegak hukum terjerat kasus dugaan korupsi dan harus ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). —Rappler.com

uni togel