• May 20, 2024
Rumitnya pembebasan 4 ABK WNI dari bajak laut Somalia

Rumitnya pembebasan 4 ABK WNI dari bajak laut Somalia

JAKARTA, Indonesia – 22 Oktober 2016 menjadi momen paling bersejarah bagi 26 awak kapal Naham 3. Setelah hampir 5 tahun disandera oleh bajak laut Somalia, mereka akhirnya dibebaskan dan dipertemukan kembali dengan keluarganya di negara masing-masing.

Ke-26 awak kapal tersebut berasal dari 6 negara Asia yaitu Indonesia, Filipina, China, Kamboja, Taiwan, dan Vietnam. Sebanyak 4 orang awak kapal berasal dari Indonesia dan diketahui bernama Sudirman, Supardi, Adi Manurung dan Nelson Pesireon.

Mereka tiba di Indonesia pada Sabtu 29 Oktober setelah menempuh perjalanan jauh dari Nairobi, Kenya. Lantas bagaimana pemerintah Indonesia bisa membebaskan 4 WNI dalam misi penyelamatan yang kerap disebut sebagai sandera yang terlupakan?

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, proses pelepasan 26 awak kapal tersebut tidak mudah, karena 4 hal.

Pertamaperusahaan tidak mempunyai kemampuan dan biaya untuk menyelamatkan awak kapalnya, Keduakarena awak kapal dari berbagai negara otomatis harus bekerjasama dengan mereka, ketiga Setiap negara menempuh jalannya sendiri dalam negosiasi, dan keempat tidak ada akses ke pelaku,” kata Iqbal yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Minggu malam, 30 Oktober.

Perompak Somalia baru-baru ini menyadari bahwa perusahaan tersebut, setelah membajak kapal penangkap ikan berbendera Oman, tidak memberikan asuransi penculikan dan uang tebusan kepada awak kapalnya. Selain itu, para awak kapal tersebut ternyata melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Seychelles.

Para perompak bingung bagaimana mereka bisa mendapatkan uang tebusan setelah membajak kapal. Meski demikian, pelaku penculikan tidak mengalami kerugian. Mereka berharap mendapatkan uang tebusan dari pemerintah negara asalnya masing-masing.

Para perompak kemudian meminta setiap awak kapal untuk menghubungi kedutaan di negara terdekat Somalia. “Sebelumnya mereka mengumpulkan data dari internet tentang kontak KBRI,” kata Iqbal.

Untuk kasus ABK WNI, pada tahun 2012 pemerintah meminta agar KBRI Kairo, Mesir, menanganinya.

“Proses ini berlangsung selama 1 tahun. Saat itu, para awak kapal WNI masih disandera di kapal, sehingga mereka bisa berkomunikasi melalui telepon satelit di sana. “Pelaku memilih untuk tidak berbicara dengan perwakilan kedutaan kami,” kata Iqbal.

Perusahaan pemilik kapal tersebut juga ikut serta dalam negosiasi yang akhirnya membuat prosesnya semakin berlarut-larut. Proses ini memakan waktu hingga 2 tahun.

Tiba-tiba kapal tenggelam karena sudah tidak laik laut lagi. Perusahaan pun berhenti bernegosiasi dan hiatus selama 6 bulan karena bangkrut.

Minta uang tebusan Rp 59 miliar

Proses pembebasan 4 awak kapal WNI kembali diintensifkan pada bulan Januari 2015 di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla. Hingga Januari 2015, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melaporkan kepada Jokowi tentang keberadaan 4 awak kapal WNI yang masih disandera di Somalia. Jokowi kemudian memberi lampu hijau untuk dilakukannya upaya pembebasan.

“Dari situ kami kemudian bekerjasama dengan beberapa negara yang warganya juga ikut disandera, karena tidak mungkin kami hanya menyelamatkan WNI saja. “Tetapi yang merespons hanya Tiongkok dan Filipina,” kata Iqbal.

Pemerintah ketiga negara juga bekerja sama dengan organisasi Ocean Beyond Piracy (OBP) di mana mantan personel militer Inggris, John Steed, menjadi negosiatornya.

“Jadi kami putuskan OBP yang merupakan organisasi transformasi dari badan yang dibentuk PBB, UNDOC, akan menjadi operatornya. “Kami juga menghubungi kantor pengacara khusus pelayaran dari London yang menangani kasus serupa dan berbagai lembaga nirlaba,” kata Iqbal.

Diakuinya, para perompak awalnya meminta uang tebusan sebesar US$4,5 juta atau setara Rp59 miliar. Namun, pemerintah membantah membayar uang tebusan.

“Soal uang tebusan, kami tidak pernah membahasnya secara langsung. Memang benar, pada awal tahun 2012, mereka meminta bantuan kepada Indonesia saja sebesar US$4,5 juta (Rp 59 miliar). “Tapi setelah kita bersatu, kita tidak pernah membahasnya lagi,” ujarnya.

Meski sudah memiliki tim, mereka tidak memiliki akses terhadap para sandera di Somalia. Sementara itu, pemerintahan Somalia sudah lama tidak efektif karena seringnya terjadi perang saudara.

Hingga akhirnya organisasi OBP memiliki koneksi melalui para pemimpin suku di Somalia. Selain itu juga harus melalui berbagai proses negosiasi dengan perubahan akses.

Penderitaan yang nyata

Sebaliknya, penderitaan 26 awak kapal baru dimulai saat mereka dipindahkan dari kapal ke darat. Sebab di wilayah darat logistiknya tidak mencukupi. Kondisi geografis Somalia yang buruk dan kering juga membuat 26 awak kapal kesulitan bertahan hidup.

“Kami hanya mendapat setengah liter air minum setiap hari. “Tidak layak karena yang ditampung adalah air hujan,” kata salah satu awak kapal, Sudirman, saat memberikan siaran pers di kantor Kementerian Luar Negeri, Senin, 31 Oktober.

Padahal, makanan yang diberikan adalah makanan lama, namun kemudian dipanaskan kembali.

Seringkali makanan yang diberikan bajak laut mengandung kotoran hewan seperti kambing dan burung unta, kata Sudirman seraya mengatakan semuanya akhirnya mengalami diare dan sembuh dengan sendirinya.

Akibat perlakuan tidak pantas yang diberikan para bajak laut tersebut, salah satu awak kapal asal Indonesia bernama Nasirin meninggal dunia, diduga karena penyakit malaria. Namun mereka akhirnya dibebaskan karena berbagai alasan, salah satunya karena sakit dan mogok makan. Hal ini membahayakan keselamatan para sandera, sehingga tujuan para pembajak untuk mendapatkan uang tebusan gagal. – Rappler.com