• May 19, 2024
Lebih baik memberi umpan daripada menerima pemerasan

Lebih baik memberi umpan daripada menerima pemerasan

MALANG, Indonesia – “Saya tidak ingin kepercayaan ini ternoda hanya karena ucapan terima kasih yang tidak pantas.”

Kalimat di atas terlontar dari mulut Seladi, anggota polisi berpangkat Bripka di Polres Malang, Jawa Timur pada Jumat, 20 Mei.

Nama Bripka Seladi sempat ‘populer’ dalam beberapa hari terakhir karena masuk dalam jajaran polisi yang tergolong jujur. Hal itu dibuktikan dengan penolakan uang sebagai ucapan “terima kasih” dari warga masyarakat yang dilayaninya. Bahkan, jika mau, Seladi bisa menambah penghasilan sejak ia ditempatkan Dari bagian SIM sebagai petugas ujian praktek kendaraan roda dua dan empat pada tahun 2001.

“Saya membantu mereka karena itu tugas saya. Misalnya saya bukan petugas SIM atau Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (PMO), mereka pasti mengucapkan terima kasih dan memberi saya berbagai benda atau uang. “Saya tidak ingin kepercayaan ini ternoda hanya karena ucapan terima kasih yang tidak tepat,” kata Seladi saat ditemui, Jumat, 20 Mei.

Namun, bukan berarti dia tidak membutuhkan uang tambahan. Faktanya, Seladi mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pemulung. Ya, pemulung, orang yang mencari dan memilah sampah.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, sejak tahun 2004 ia bekerja paruh waktu sebagai pemulung. Artinya 12 tahun yang lalu. Ia tak segan-segan mencari sampah di tempat lain. Tentu saja, Seladi melepas pakaian dan ciri-ciri polisi di rumah saat ia melakukan umpan.

“Saya tidak ingin menyalahgunakan posisi saya. Kedudukan ini merupakan amanah yang harus dilindungi. Bahkan rekan-rekan polisinya tidak mengenalinya saat dia sedang memungut sampah di jalan,” ujarnya.

Setidaknya Seladi bisa mendapatkan penghasilan Rp 50 ribu per hari dengan memilah sampah. Ada tiga orang anak, istrinya, dan beberapa temannya lainnya yang ikut memilah di tempat yang sama dan mendapatkan penghasilan tanpa menyetor ke Seladi.

Ia dianggap menghina profesi polisi karena menekuni pekerjaan sampingan yang tidak biasa sebagai petugas hukum.

“Saya menerima semua hinaan itu. Saya tidak marah karena halal. “Aku ingat perkataan ibuku, kalau ada yang menghinamu, simpan saja semuanya di sakumu dan buang ke tempat lain,” ujarnya.

Ibu juga berpesan agar dalam bekerja sebaiknya dikerjakan dengan sungguh-sungguh, jangan sombong, jangan mencubit jika tidak ingin dicubit. Kalau ada yang menghina, kata Seladi, dengarkan saja. Sang ibu meminta untuk tidak marah.

“Yang penting makan uang halal,” ucapnya menirukan ucapan ibunya.

Hingga saat ini, bersih-bersih masih menjadi pekerjaan sampingan pria berusia 57 tahun tersebut. Namun, ia tak lagi harus berkeliling ke berbagai tempat untuk mencari sampah. Pasalnya, setiap hari petugas kebersihan di Stasiun Kereta Malang datang mengantarkan sampah yang telah dipilah.

Sampah-sampah tersebut kemudian dikumpulkan di gudang yang dipinjam oleh temannya. Lokasinya tidak jauh dari kantor tempatnya bekerja, yakni di Jalan Dr. Wahidin.

Bukan pekerjaan sampingan pertamaku

Ini bukan pertama kalinya Seladi mendapat pekerjaan sampingan. Bahkan, pada bisnis sampingannya sebelumnya, Seladi merugi hingga Rp 96 juta. Mengapa?

Sejak tahun 1988 hingga 1995, ia terlibat dalam berbagai bisnis mulai dari penjualan sepatu, barang elektronik, hingga produk furnitur.

Pada tahun 1988, Seladi mendapat modal sebesar Rp 25 juta dari Koperasi Polisi di Polres Malang Kota, hal ini mengejutkan karena biasanya koperasi hanya memberikan batas kredit maksimal Rp 1 juta kepada anggota polisi yang baru bekerja. Koperasi percaya dengan rekam jejak Seladi sebagai polisi yang jujur, sehingga diberikan modal hingga puluhan juta.

Saat itu, usaha Seladi mengalami kemajuan pesat. Nilai pesanan yang diterima Seladi dari mitra semakin tinggi. Pesanan pertama membeli produk furnitur mitranya seharga Rp 25 juta dengan cicilan tiga bulan. Urutan kedua nilainya naik menjadi Rp 75 juta dengan uang muka Rp 50 juta, selebihnya dicicil.

Pesanan ketiga, mitra memesan senilai Rp 115 juta dengan uang muka Rp 20 juta. Tanpa ragu, dia langsung mengabulkan semua permintaan pasangannya. Namun sayang, rekannya kemudian kabur membawa barang tersebut tanpa melunasi tunggakan Rp 95 juta.

“Saya rugi banyak karena tidak pernah mau berhutang. Saya membeli semua furnitur yang saya pesan dengan uang tunai. “Eh, sepertinya orangnya kabur,” ucapnya.

Padahal, Seladi bisa dengan mudah menggunakan posisinya dan mengerahkan korpsnya untuk mencari, menangkap, dan merebut kembali uangnya. Namun dia memilih jalan yang berbeda. Dia tidak mencari atau menangkap penipu itu.

“Tuhan punya cara untuk merampas rejeki yang bukan milikku. “Kredit itu sama dengan makan bunga, rentenir dan Tuhan mengambil uang yang tidak berkah,” ujarnya yakin.

Keadaannya yang bangkrut tidak menghalangi Seladi untuk menyalahgunakan jabatannya. Ia tak pernah mau menerima hadiah dari orang yang merasa terbantu dengan kinerjanya sebagai polisi.

Berbagai hadiah uang atau barang sebagai ucapan terima kasih ditolak dengan sopan.

Lahir dari keluarga pekerja pertanian

LAHIR DARI KELUARGA PEKERJA PERTANIAN.  Bripka Seladi (kanan) membantu perekonomian keluarganya yang pas-pasan dengan ikut bertani sejak kecil.  Foto oleh Dyah Pitaloka/Rappler

Bripka Seladi lahir 57 tahun lalu dari keluarga buruh tani di Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudho, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa ini berada di bagian selatan Malang dengan kontur lembah dan perbukitan.

Seladi Kecil merupakan anak ke 3 dari 9 bersaudara. Tak satu pun dari anggota keluarganya adalah pegawai negeri atau polisi. Seladi membantu perekonomian keluarga setiap hari dengan membantu menjual kayu.

Jalan menuju kepolisian terbuka ketika seorang temannya mengajaknya mendaftar di Balai Diklat Polri, Pusdiklat Brimob di Watu Kosek, Mojokerto. Seladi lolos, sedangkan temannya gagal tahap kesehatan.

“Saya mendaftar di Watu Kosek dan lulus pada tahun 1978,” ujarnya.

Sejak saat itu, Seladi telah mencoba beberapa unit untuk melayani warga. Ia pernah diperbantukan di Divisi Sabhara Polres Malang Kota. Ia kemudian bertugas di Timor Timor pada tahun 1984 hingga 1985, kemudian kembali bekerja di bagian Surat Keterangan Pemilik Kendaraan Bermotor (MOP) hingga tahun 1998. Ia kemudian dipindahkan kembali ke Sabhara sebelum bergabung di bagian SIM sebagai kendaraan roda dua dan roda. petugas tes praktek empat dari tahun 2001 sampai saat ini.

Semasa bekerja sebagai polisi, Seladi menyekolahkan ketiga adiknya hingga lulus SMA.

Tidak mau menggunakan kendaraan dinas

Satu tahun lagi hingga Seladi pensiun. Uniknya, selama lebih dari 35 tahun mengabdi, ia belum pernah menggunakan kendaraan dinas. Ia lebih memilih mengendarai sepeda warisan orang tuanya untuk melakukan berbagai aktivitas dan pekerjaan untuk mengarahkan lalu lintas.

“Tahun 2009, saya dipercaya menjaga mobil untuk uji SIM roda empat. “Tapi saya takut salah menggunakannya, jadi lebih baik tidak digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Ia berharap ke depan akan banyak polisi yang mau bergaul dengan warga, dan langsung memberikan contoh kepada warga. Harapan tersebut salah satunya tertuju pada anak keduanya yang kini sedang mengikuti ujian pendidikan kepolisian jalur Pelayanan Kepolisian Negara. Ini merupakan pendaftaran ketiga bagi putranya setelah gagal pada dua pendaftaran sebelumnya karena nilai akademis yang kurang dan tidak lulus tes kesehatan.

“Setelah ini saya pensiun. Harapan saya, banyak polisi yang mau berintegrasi ke masyarakat dan memberi contoh nyata. “Mohon doanya untuk anak saya agar bisa mewujudkan impian tersebut,” ujarnya

Bripka Seladi sadar, setiap pilihan akan membawa dampak yang berbeda-beda. Karena pilihannya untuk menjadi polisi yang jujur, ia mendapatkan pangkat Brigadir Kepala dengan masa kerja lebih dari 35 tahun dan gudang pinjaman yang penuh dengan barang rongsokan.

“Orang-orang seangkatan saya banyak yang berpangkat AKP, Kompol, AKBP hingga jenderal. Masing-masing mempunyai kemampuan tersendiri. “Bripka itu singkatan dari ibrig-ibrig berkah (berkah kecil),” ujarnya sambil tertawa lebar.

Pada Jumat pagi, Seladi terlihat mengendarai mobil tes SIM di halaman kantor Samsat Kota Malang. Nur Sulistiono, warga Bandulan Gang 2, mengikuti semua instruksi dan perintah Seladi. Pengusaha tersebut saat ini sedang mengajukan SIM A agar bisa mengemudikan kendaraan jenis angkutan barang menjemput untuk bisnisnya.

PRAKTEK BERLISENSI.  Bripka Seladi membantu warga bernama Nur Sulistiono untuk mengikuti tes SIM pada Jumat, 20 Mei.  Foto oleh Dyah Pitaloka/Rappler

Nur menjalani beberapa tahapan pengujian, mulai dari pemasangan sabuk pengaman, menaiki mobil di tanjakan hingga parkir mundur. Sayangnya, salah satu marka parkir ambruk akibat tertabrak mobil Nur saat parkir. Seladi pun mengisi formulir Nur dengan spidol merah yang diulang-ulang.

“Mungkin saya gugup, datanglah ke sini tiga hari lagi dan coba lagi. Benar, jangan pakai calo, datang dan uji langsung SIM Anda sendiri, kata Seladi.

Meski gagal, Nur tak tampak kesal. Pria yang datang bersama istri dan anaknya itu membenarkan nasehat Seladi. “Ya, saya sedikit gugup sebelumnya, saya harus menjadi lebih baik lain kali. Pak Seladi ramah dan baik hati. Biasanya mengulang berarti menunggu sampai seminggu, bisa dilakukan lagi dalam tiga hari. “Jadi bisa langsung digunakan untuk bekerja,” ucapnya.

Bagi Nur, polisi banyak berupaya melindungi warga. Namun, dia berharap pihak berwenang memperbaiki birokrasi terkait kendaraan. “

Harapannya kalau diurus tidak jadi rumit. “Jika mendapat tiket, maka juga mendapat tiket untuk diadili di pengadilan,” ujarnya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Hongkong Prize