• May 6, 2024
Dosa Soeharto dan Orde Baru Menurut Pramoedya Ananta Toer

Dosa Soeharto dan Orde Baru Menurut Pramoedya Ananta Toer

JAKARTA, Indonesia—Wisata Soeharto dan Pramoedya Ananta berasal dari generasi yang sama. Keduanya juga bertugas di ketentaraan. Soeharto menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945 setelah lulus dari Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah.

Sedangkan Pram – sapaan akrab Pramoedya – hanya sempat bergabung dengan kelompok militer di Pulau Jawa. Ia pernah ditugaskan ke Jakarta, namun akhirnya memutuskan keluar dan menulis saja. Pram kemudian bergabung dengan Lekra, kelompok penulis berhaluan kiri.

Setelah itu, keduanya menjalani takdir masing-masing. Soeharto berhasil meniti karir sebagai anggota tentara. Belakangan ia berhasil menduduki jabatan orang nomor satu di TNI.

Sedangkan Pram akhirnya menjadi seorang penulis yang menginspirasi banyak orang melalui novelnya yang berjudul Manusia Bumi, nyanyian bisu seorang bisu. Hal yang sama berlaku untuk karya-karyanya yang lain. Nama Pram bahkan dikenal sampai ke luar negeri.

Namun keduanya ditakdirkan sepanjang hidup mereka untuk selalu saling berhadapan. Seoharto menjadi penguasa dan Pram menjadi pengkritiknya. Kritikus paling tajam. Pram akhirnya ditangkap dan melakukan kerja paksa di Pulau Buru saat Soeharto berkuasa.

Di sela-sela kritik umumnya, Pram selalu terpancing mengomentari Soeharto. Ia pun mengutarakan pendapatnya mengenai penguasa orde baru.

Kritiknya muncul saat ditanya soal Soeharto dan Orde Baru. Jawaban Pram selalu kasar.

Seperti saat dia membalas Goenawan Muhamad soal permintaan maaf negara kepada tahanan seperti Pram. Pram pun menjawab Goenawan.

Dalam jawaban tersebut tergambar bagaimana Pram menilai Soeharto telah membuat hidupnya sengsara. Mulai dari penjara, pelarangan buku, hingga teror bahkan setelah dibebaskan oleh pemerintahan Orde Baru.

“Saya tidak mudah memaafkan orang karena mereka terlalu pahit menjadi orang Indonesia. “Buku-buku saya wajib dibaca di sekolah menengah di Amerika, tapi dilarang di Indonesia.”

“Hak saya sebagai penulis selama 43 tahun telah dirampas. Saya menghabiskan hampir separuh hidup saya di Pulau Buru dalam penyiksaan, penghinaan dan pelecehan.”

“Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai tawuran di sekolah, namun ketika mengetahui ayahnya seorang tahanan politik, dia malah memukul. Istri saya menjual untuk bertahan hidup tetapi selalu merasa terganggu setelah dia mengetahui bahwa saya adalah tahanan politik. “Bahkan Ketua RT pun tidak mau membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk).”

“Rumah saya di Rawamangun Utara sampai sekarang disita dan ditempati tentara. Buku-buku dan manuskrip saya dibakar.”

“Obrolan ringan itu bagus, tapi hanya obrolan ringan. Apa yang kamu inginkan selanjutnya? Akankah negara mengganti kerugian orang seperti saya? Negara ini mungkin harus berhutang lagi untuk menutupi semua yang saya miliki.”

Di artikel lain di Kemajuan Indo ditulis Linda Christanty, Pram pun menyebut dirinya menyamakan Soeharto dengan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

“Nasution (Jenderal Abdul Haris Nasution yang mendapat bintang lima di era Soeharto) membunuh teman saya, biarkan teman saya mati. Saat itu kami sedang membela Bekasi, tepatnya di kawasan Lemah Abang. Nasution dan Soeharto sama, sama-sama KNIL, ujarnya.

Permusuhan Pram terhadap kezaliman Soeharto di era Orde Baru semakin terlihat seiring berjalannya waktu. Kees Snoek, yang dikirim oleh Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Belanda, mewawancarainya.

Wawancara tersebut kemudian direkam dan dipublikasikan oleh Komunitas Bambu dengan judul Saya ingin melihat akhir ini.

Saat ditanya Snoek soal karya-karyanya, Pram lebih leluasa menceritakan kekesalannya saat naskah-naskahnya diburu orde baru.

Dia mengatakan dia melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan pekerjaannya. Terutama karya yang dihasilkannya selama ditahan di Pulau Buru oleh rezim Soeharto.

“Hampir semua yang saya tulis di Pulau Buru harus saya pindahkan ke pihak lain kecuali catatan harian saya. Semuanya disita,” ujarnya.

Beruntung Pram sempat membuat 4 eksemplar, salah satunya disimpan oleh Gereja Katolik. Ia berhasil menipu Soeharto. “Komando baru mengira masalahnya sudah selesai ketika naskah aslinya disita. Tentu saja itu salah.” Pram melawan.

Puncaknya, Pram terang-terangan mengungkapkan kebenciannya terhadap orde baru, tepatnya saat ditanya pemikiran politiknya. “Saya merasa paling terhina di Indonesia pada masa Orde Baru.”

Penghinaan itu terus melekat pada Pram seumur hidupnya. Bahkan ketika Soeharto lengser, Pram masih merasa skeptis bahwa pemerintah sudah lepas dari cengkeraman orde baru.

Dalam artikel berjudul Soeharto tidak mungkin diadili di Jawa Post, Senin 12 April 1999, Pram blak-blakan soal nasibnya di orde baru. Hal itu diungkapkan Pram saat memberikan kuliah di hadapan mahasiswa dan pers Amerika serta pengamat sastra dan politik di kampus George Washington University (GWU).

Menurut Pram, Soeharto adalah penjahat dunia dan pantas diadili. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadinya ditahan di Pulau Buru selama sepuluh tahun, disiksa, diperlakukan buruk tanpa proses pengadilan dan hukum.

“Berdasarkan pengalaman saya sendiri, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan. Setiap orang di mana pun di dunia berhak menuntut Soeharto.”

Dalam wawancara itu, Pram juga mengungkap fitnah orde baru terhadap dirinya, bahwa ia adalah anggota Partai Komunis Indonesia.

“Yang menunjuk saya jadi PKI adalah Orde Baru yang kemudian dikembangkan oleh pers Orde Baru. Saya PKI nomor berapa? Hanya Orde Baru yang mengada-ada, yang kemudian dikembangkan oleh pers Orde Baru. Bahkan saya pernah bertanya, saya komunis berapa? Semua komunis memiliki tanda keanggotaan. “Belum pernah ada yang bisa menjawab,” kata Pram.

Setelah bertahun-tahun ‘berseteru’ soal ideologi dan keyakinan tentang Indonesia, Pram dan Soeharto akhirnya meninggal dunia. Pram menghembuskan nafas terakhirnya pada 30 April 2006 dalam usia 81 tahun. Sedangkan Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008 dalam usia 86 tahun.

Hingga wafatnya, Pram tak pernah mendapat permintaan maaf dari Soeharto atas penderitaan yang dialaminya selama ditahan di Pulau Buru. Sementara Soeharto masih dikenang bahkan dijuluki sebagai bapak pembangunan, bukan bapak kejahatan manusia seperti yang dimaksudkan Pram.

Namun perjuangannya untuk meminta adanya tatanan baru dan pemerintahan selanjutnya tidak pernah mati. Hingga akhir hayatnya, ia terus menyindir penguasa. Setidaknya sekedar untuk memenuhi perkataannya sendiri, bahwa “Dalam hidup kita, kita hanya mempunyai satu hal, yaitu keberanian. Jika kita tidak memilikinya, lalu berapa harga hidup kita?” —Rappler.com

BACA JUGA:

Data HKKeluaran HKPengeluaran HK