• May 9, 2024
Rangkullah kedamaian sejati, penderitaan tidak ada habisnya

Rangkullah kedamaian sejati, penderitaan tidak ada habisnya

Tanggal 21 September adalah hari istimewa bagi umat manusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara konstruktif merekayasa dan memelihara perdamaian sejak berakhirnya Perang Dunia II, merasa idealisme perdamaian dunia harus dilanjutkan.

Oleh karena itu, setelah digagas pertama kali pada tahun 1981, dan kemudian ditegaskan kembali pada tahun 2001, Hari Perdamaian Internasional diperingati setiap tanggal 21 September di seluruh dunia.

Mudah ditebak, terbentuknya PBB sebagai ujung tombak perdamaian dunia lebih didasari oleh pertimbangan politik Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, China dan Uni Soviet) untuk mencapai stabilitas politik dunia pasca kekalahan Jerman dan Uni Soviet. Jepang dalam Perang Dunia II, alih-alih solusi mengatasi trauma, masyarakat dunia baru saja mengalami bencana perang global yang dahsyat.

Buktinya hingga saat ini perang masih terjadi dimana-mana, entah karena PBB tidak efektif, atau karena sifat manusia yang tidak bisa diubah. Kata perdamaian masih menjadi tabu bagi kita semua, bahkan di zaman yang peradaban manusia sudah begitu maju.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan keajaiban dalam banyak hal, namun permasalahan mendasar umat manusia masih tetap ada.

“Perkembangan kemajuan material dan teknologi tidak diragukan lagi, namun itu saja belum cukup, karena kita masih belum berhasil menghadirkan perdamaian dan kebahagiaan atau mengatasi penderitaan,” kata Dalai Lama dalam ceramah bertajuk. Pendekatan yang manusiawi terhadap perdamaian dunia.

Ya, sejak awal sejarah, manusia saling marah, berselisih paham, saling memukul, bahkan saling membunuh. Keinginan untuk berkonflik dimiliki oleh semua makhluk hidup, bedanya manusia dapat merencanakan dan mengatur persiapannya untuk berperang satu sama lain.

Chris Hedge, jurnalis dan penulis Amerika, menulis dalam ‘Yang Harus Diketahui Setiap Orang Tentang Perang’, Waktu New York6 Juli 2003, bahwa pada abad ke-20 saja, setidaknya 108 juta jiwa hilang akibat perang, terutama pada Perang Dunia I, Perang Dunia II dan serangkaian perang proksi pada masa Perang Dingin.

Selain itu, antara 150 juta hingga 1 miliar jiwa telah hilang akibat perang sepanjang sejarah manusia. Dalam 3.400 tahun sejarahnya, manusia baru merasakan kedamaian selama 268 tahun atau sekitar 8% dari sejarah yang tercatat.

Perang dan perdamaian ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan selalu hadir dalam kisah sejarah umat manusia. Memang benar perdamaian tidak berarti menghilangkan konflik sama sekali. Bedanya, dalam suasana damai suatu konflik dapat diselesaikan secara hormat dan konstruktif.

Apa inti dari perdamaian?

Menurut Charles Chatfield, sejarawan Amerika Serikat dalam “Concepts of Peace in History” yang diterbitkan dalam jurnal tersebut Kedamaian dan KesempatanJuli 1986, perdamaian setidaknya mempunyai tiga komponen, yaitu tata kelola hukum yang dikaitkan dengan kata latin orang; hubungan sosial etis dari kata Yunani Elrene; dan rasa berbuat baik yang mengalir dari keutuhan rohani, ditransfer dari kata Ibrani Salam.

Sejarah mencatat beberapa periode dimana perdamaian sudah ada dalam jangka waktu yang relatif lama dan ketiga komponen tersebut sudah terlihat. Misalnya, Pax Romanamasa ketika rakyat Romawi, yang telah berperang melawan negara asing atau satu sama lain selama 200 tahun, mulai hidup damai dan meninggalkan ambisi ekspansionis kekaisaran mereka.

Pax Romana berlangsung selama 206 tahun (27 SM – 180 M). Selain itu juga ada Pax Mongolika (abad ke-14) ketika Kekaisaran Mongol menguasai Asia dan sebagian Eropa, memungkinkan perdagangan antarbenua dan pertukaran gagasan yang intens, serta Pax Brittanica (1815-1914), ketika Inggris dengan kekuatan kolonialnya mampu mendikte keseimbangan politik Eropa dan dunia internasional untuk meredam konflik antar bangsa di dunia.

Namun harus diketahui juga bagusnya Pax Romana, Pax MongolikaDan Pax Brittanica, semuanya dimulai dan diakhiri dengan perang. Ada istilah klasik yang bernada pesimistis, bahwa perdamaian ada karena tidak ada konflik, dan masa damai hanyalah jeda sesaat sebelum masyarakat kembali berperang satu sama lain.

Sayangnya, pernyataan tersebut benar dalam banyak hal.

Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia yang juga merupakan pionir kajian perdamaian dan konflik, membagi perdamaian menjadi dua jenis, yaitu perdamaian positif dan perdamaian negatif.

Kedamaian positif terbentuk ketika rasa tenang dan stabilitas diisi dengan hadirnya keadilan, persamaan hak, toleransi dan terbukanya kesempatan luas bagi mereka yang hidup di masa stabil ini untuk memaksimalkan potensi hidupnya. Dengan kata lain, perdamaian didasarkan pada prinsip kerukunan dan keadaban.

Sementara itu, perdamaian negatif didasarkan pada stabilitas palsu. Masyarakat hidup aman dan nyaman karena bibit-bibit konflik dihilangkan, begitu pula daya kritis dan kreativitas masyarakat.

Di Indonesia sangat terkenal pada masa Orde Baru. Kedamaian negara tertebus dengan hilangnya hak-hak kritis warga negaranya. Manajemen konflik yang buruk menyebabkan ledakan kemarahan dan keresahan masyarakat pada akhir masa Orde Baru.

Momen tanggal 21 September menjadi renungan bagi kita umat manusia untuk tetap berupaya mencapai perdamaian sejati, meski jalan menuju ke sana masih panjang dan penuh penderitaan. Mencari perdamaian setidaknya bisa dimulai dari diri masing-masing individu. Dan seperti yang dikatakan Albert Einstein, kunci untuk mencapai perdamaian adalah saling pengertian.

Selamat Hari Perdamaian Internasional!

–Rappler.com

Pengeluaran Sidney